Saya tidak habis pikir gimana caranya Bapak Syaifoel Hardy begitu produktifnya menulis.Biasanya ide akan tiba ketika dead line sudah diambang pintu Sebuah kebiasaan buruk yang sudah mengakar.
Minus 4 derajat celcius, cuaca yang sangat hambar dan turunnya salju menemani saya memulai menulis artikel ini. Ya,hari ini pertama turun salju untuk ekspresi dominan hambar di kota Den Haag Belanda. Di ketika di Indonesia rata-rata suhu 32 derajat celcius disini minus 4. Perbandingan yang sangat extrem.
Topik pembicaraan yang sangat umum di Belanda “cuaca”. Keluhan dinginnya cuaca menjadi masakan sehari hari. Sedangkan keluhan panas menjadi topik face book untuk sobat sahabat di Indonesia. Itulah manusia...tempatnya berkeluh kesah. Disaat orang belanda berlomba lomba kepengen kulitnya coklat, di Indonesia perang iklan produk pemutih wajah. Aneh memang yang namanya manusia.
Masih terlintas kemaren ketika visite dokter. Perbandingan yang bisa dikatakan mencolok korelasi antara perawat dan dokter antara di Indonesia dan Belanda. Begitu profesionalnya korelasi di sini, memang perawat yang 24 jam bersama pasien tentunya lebih tahu daripada dokternya.
Tidak ada istilahnya gila hormat, semua menjalankan profesinya, dan saling berkolaborasi. Bahkan kita bisa memanggil namanya di sini, tidak perlu dengan panggilan “dok”. Kedisiplinan dan kerja keras juga menjadi modal yang sangat diharapkan untuk bisa bekerja di eropa.
Tidak ada kata leha-leha, tidak ada “jam tidur” ketika dinas malam, tidak ada jam karet. Full stress kadang sering kita rasakan. Kedisiplinan yang keras ini membawa efek positif.
Sebelum dongeng banyak mengenai pengalaman di Belanda, saya akan flashback ihwal pengalaman- pengalaman, hingga ketika ini.
Think big if you want to be big!
Moto iklan rokok ini sangat menancap di otakku ketika kuliah akper dulu, hingga ketika ini. Moto ini seakan menjadi pelopor bagi saya, untuk bisa bermimpi menjadi apa saja yang saya inginkan.
Semua bisa berawal dari mimpi, tetapi ini juga menjadi guyonan salah satu teman, untuk bisa bermimpi, kita harus tidur dulu, makanya banyak-banyak lah tidur, untuk bisa bermimpi!
Saat menghadapi menghadapi masa masa semester akhir,beberapa tahun lalu, saya menuliskan apa yang akan saya cita citakan selepas kuliah akper Depkes Malang.
Sederetan angan- angan telah saya tulis : menjadi perawat di luar negeri, pengen sekolah setinggi tingginya, menjadi PNS, menjadi dosen, menjadi pengusaha.
Tidak tahu mana yang akan saya capai, kalau bisa lebih dari satu akan menjadi kenyataan, pikir saya ketika itu.
Layaknya mahasiswa yang gres tamat, saya membuatkan surat lamaran kerja ke beberapa rumah sakit sekitar Jawa Timur.
Tidak usang sesudah itu, ada panggilan wawancara di salah satu rumah sakit Islam swasta di Banyuwangi. Itulah pertama kali saya menerima surat panggilan kerja. Was- was dan tentu saja “spanneng” kata orang Jawa (ternyata kata spanneng ini berasal dari bahasa Belanda “spannend”) yang berarti tegang.
Cerdas juga orang jawa dahulu.Dari hasil tes tulis saya dinyatakan lulus, tetapi hasil wawancara dinyatakan tidak lulus. Wawancara yang ternyata menciptakan saya gagal ketika itu adalah…mereka bertanya tipe pemimpin yang saya idamkan, sesuai dengan Hadist Nabi yang pernah saya baca…jujur, adil, dan segala macamnya, termasuk salah satunya yaitu laki-laki.
Ternyata tanggapan ini yang menciptakan saya tidak bisa diterima, alasannya yang mewawancarai ketika itu yaitu wanita dan beliau yaitu administrator di rumah sakit tersebut. Dan satu lagi, beliau bertanya kenapa saya menggunakan baju warna orange, saya bilang alasannya saya suka warna yang mencolok, yang bisa diartikan dengan berani.
Semakin lengkaplah alasan saya tidak diterima di rumah sakit tersebut, alasannya rumah sakit tersebut butuh “perawat patuh”.
Sambil menunggu panggilan yang lain, sobat sekelas Akper saya dulu menelfon untuk mengajak kerja di luar negeri. Mendengar seruan ke negara Eropa menciptakan saya sangat antusias untuk pergi kesana.
Akhirnya saya menginjakan kaki ke ibukota Jakarta pertama kalinya untuk mengikuti training bahasa.
Mempelajari bahasa Belanda bisa dibilang sangat susah. Dengan semangat tinggi saya mempelajarinya dari pagi hingga malam. Ada perasaan bahagia juga mempelajari bahasa yang benar benar gres untuk kita pelajari.
Dalam waktu sekitar 4 bulanan secara intensif, kita mulai bisa sedikit ber-ba-bi-bu dalam bahasa Belanda.
Ada sedikit pertanyaan di benak ketika itu. Mengapa kita mencar ilmu bahasa Inggris yang mulai SD kita pelajari hingga setingkat kuliah tetep aja bahasa inggris kita bisa dibilang gitu-gitu aja.
Pasti ada yang salah dengan metode pembelajaran yang salah.Padahal bisa dibilang bahasa inggris merupakan salah satu kunci membuka pintu global.
Semoga ada metode yang benar benar menciptakan praktis berbahasa inggris untuk bangsa ini…Amin.
Kebimbangan mulai saya rasakan ketika tidak ada kepastian untuk berangkat ke Belanda. Tentu saja training ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi hingga ketika itu masih menggantungkan uang saku.
Bahkan pernah di ketika Bulan Puasa saking tidak adanya uang lagi saya sahur dengan mie instan dan berbuka dengan mie instan lagi.
Alhamdulillah masih bisa makan. Saat liburan simpulan pekan saya sempatkan jalan-jalan bersama sobat ke Universitas pujian Indonesia , UI. Di papan pengumuman Fakultas Kesehatan Masyarakat, terdapat lowongan pekerjaan D3 keperawatan untuk bekerja di salah satu perusahaan asuransi swasta milik Jerman Allianz.
Sempat berfikir sejenak, untuk apa ya kira-kira seorang perawat dibutuhkan bekerja di asuransi...karena ketika itu tidak ada pandangan sama sekali untuk bisa masuk di perusahaan asuransi. Salah satu syaratnya yaitu bahasa Inngris dan bisa komputer.
Bismillah, dengan penuh keyakinan saya mengirimkan surat lamaran ke perusahaan asuransi tersebut. Seminggu setelahnya saya menerima panggilan wawancara dan tes tulis.
Perawat juga bisa berdasi, itulah terlintas dibenak saya ketika itu. Ya, dengan pedenya saya mulai bekerja diperusahaan asuransi ini. Gedung bertingkat, penuh dengan sliweran orang orang yang harum dengan parfum mahal, di sekitar daerah Sudirman Jakarta. Tidak terbayang pengalaman pertama saya bekerja sesudah tamat AKPER. Ternyata perawat itu jangkauan kerjanya sangat banyak sekali.
Sekitar seminggu saya mendapatkan training apa yang saya lakukan di perusahaan ini. Ternyata sangat berurusan dengan administrasi. Kita istilahnya mengedit setiap klaim yang masuk diperusahaan tersebut. Misalnya ada tagihan asuransi, kita menyidik apakah obat obatan atau tindakan yang ditagihkan tersebut sesuai dengan penyakitnya. Kalau tidak sesuai kita akan menolak klaim tersebut.
Gaji yang ditawarkan di perusahaan disini juga bisa dikatakan tinggi dengan honor yang diterima sebagai perawat pelaksana. Makara sobat sahabat perawat yang ingin mencoba “dunia lain”selain di pelayanan, bisa melamar ke perusahaan arusansi yang memiliki asuransi kesehatannya.
Selama menunggu kabar dari Belanda saya bekerja di perusahaan asuransi tersebut. Menunggu dan menunggu hingga hampir dua tahun lamanya. Akhirnya ada kabar baik dari pihak Belanda. Agak berbeda dengan agenda pertama yang ditawarkan, ini semacam agenda pertukaran budaya dan bahasa, dengan tinggal dirumah salah satu keluarga di Belanda. Program Aupair namanya. Dengan alasan satu tahun mencar ilmu bahasa, nanti akan ditempatkan di Rumah sakit atau rumah perawatan lansia (Verpleeghuis).
Program apapun itu saya berharap bisa berangkat.Tepatnya Januari 2004 saya karenanya bisa berangkat juga di Belanda. Pengalaman ini bergotong-royong pengalaman yang sangat jarang saya ceritakan kepada sobat teman. Yang penting mereka tahu saya ada di Belanda. Tapi ini juga merupakan bab dari perjalanan hidup saya sebagai perawat.
Saya tinggal di rumah salah satu famili Belanda. Perasaan syok segala macam ada di benak saya ketika itu.
Dengan bahasa Belanda yang terbata bata saya mulai ngobrol dengan mereka. Pertukaran budaya dan bahasa dan juga “ngemong”anak orang belanda. Itulah bergotong-royong agenda aupair. Karena anak anak mereka sudah agak besar, saya lebih bahagia mengerjakan pekerjaan rumahan. Menyapu halaman, menyetrika dan membantu belum dewasa menciptakan PR menjadi runititas saya sehari –hari. Sempat ada perasaan menangis dalam hati ini ketika suatu ketika ekspresi dominan dingin, cuaca minus saya harus menyapu halaman. Think a big if u want to be big selalu ada di pikiran saya ketika itu!
Hampir setahun saya menjadi aupair. Beberpa bulan saya juga stage di verpleeghuis. Selama itu juga saya mengajukan lamaran ke beberapa rumah sakit dan verpleeghuis. Beberapa instansi sudah mendapatkan saya bekerja disana, tetapi hambatan surat perijinan bekerja di Belanda sangat sulit hingga kini juga. Surat perijinan untuk bekerja di Eropa kini ini sangatlah sulit.
Suatu forum di Eropa memprioritaskan orang orang Eropa untuk bekerja di instansinya. Makara jikalau ada rumah sakit, atau instansi kesehatan menginginkan perawat dari Indonesia beliau harus melalui banyak prosedur. Instansi tersebut harus menaruh lowongan pekerjaan di Koran, majalah atau internet. Setelah tiga bulan dipublikasikan tidak ada warga Belanda yang melamar, mereka harus memperluas pengumuman lowongan tersebut di seluruh Eropa.
Tidak semua negara-negara Eropa yaitu Negara makmur, banyak juga tenaga Eropa terutama Eropa Timur bekerja di Belanda, ibarat dari Polandia, Rusia, atau Turki.
Setelah beberapa lamanya tidak ada juga yang melamar, barulah negara-negara di luar Eropa bisa menempati lowongan tersebut.
Yah, itulah hukum aturan yang dibentuk janji Uni Eropa. Setelah tidak ada kepastian perijinan, barulah saya tetapkan untuk pulang ke Indonesia. Pulang dengan kekalahan, perasaan itulah yang saya rasakan ketika itu.
Mungkin memang belum saatnya saya menpatkan kesempatan ini. Sebenarnya kerja sama peluang kerja perawat dari Indonesia ke Belanda ada semenjak tahun 1970 an, alasannya minimnya tenaga perawat ketika itu. Kemudian sekitar tahun 90-an ada proyek yang namanya IHTP (Internasional Healthcare Training Programme), dimana kombinasi antara mencar ilmu atau stage dan bekerja menjadi tujuan dari IHTP.
Sebagian besar perawat perawat dari Indonesia melalui jalur ini. Tetapi sayang agenda ini kini sudah tidak ada lagi. Jalur secara pribadi user mencari perawat, jadi mereka secara pribadi mencari perawat ke Indonesia. Sebagai teladan verpleeghuis di Breda, Belanda. Mereka sebagian besar memiliki pasien lansia yang berasal dari Indonesia atau keturunan Indonesia Belanda atau Indo disebutnya.
Kadang kita sangat sulit mendapatkan info-info untuk yang jalur ini. Seiring dengan adanya krisis di Eropa, kesempatan bekerja di Belanda juga menjadi sulit, alasannya undang-undang yang ada. Jalur inisiatif pribadi menjadi alternatif yang bisa dipakai ketika ini. Makara kita secara pribadi melamar secara online.
Tentu saja kunci dari semua itu yaitu bahasa! Tidak usang sesudah pulang, saya sempat bekerja di Rumah Sakit Perkebunahan. Arogansi dokter-dokter swasta, pasien yang sombong dan didukung honor yang tidak memadai lengkaplah alasan saya untuk mengundurkan diri. Sedikit putus asa ketika itu menjadi seorang perawat.
Mendengar dari seorang mitra di Bali ihwal perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata mencari seorang guide berbahasa Belanda, menciptakan harapan berpaling dari dunia keperawatan, saya ragu.
Pengalaman yang benar benar gres sebaru-barunya. Ya, perawat menjadi seorang guide. Keliling Indonesia gratis, tidur di hotel, makan di restaurant yang mewah-mewah, mendapatkan tips yang cukup lumayan, menjadi rutinitas yang gres ketika itu.
Setelah satu setengah tahun menjalani profesi yang jauh dari dunia keperawatan, toh rasa kangen kangen di dunia keperawatan menciptakan saya kembali lagi ke dunia perawat. Sampai pada karenanya saya sekolah lagi S1 keperawatan dan menjadi dosen di STIKES Kendedes Malang.
Mengajar, membaca, dan mencari kesempatan kuliah lagi menjadi rutinitas ketika menjadi dosen. Mencari-cari beasiswa ke Belanda terus saya lakukan untuk bisa kuliah lagi. Sampai pada karenanya seorang sobat usang di Belanda memberi tahu bahwa ada user secara pribadi dari Belanda untuk mencari perawat Indonesia, dengan syarat sudah bisa berbahasa Belanda.
Tentu suatu kesempatan yang tidak akan saya lewatkan begitu saja, walau dengan sangat berat hati harus berpisah sementara dengan istri tercinta.
Tes wawancara dan tulis berbahasa Belanda Alhamdulillah bisa saya lalui. Ternyata syarat kemampuan bahasa Belanda yang lebih menjadi tuntutan yang berat ketika itu, dan karenanya harus mengikuti kursus extra lagi bahasa belanda di Erasmus huis kedutaan Belanda di Jakarta.
Kuliah sambil bekerja, misi saya untuk kedua kalinya saya ke belanda pada tahun 2010. Bekerja di Rumah perawatan (Verpleeghuis).
Banyak yang bilang juga, kok kerjanya di merawat lansia? Memang bisa dibilang sebagian besar perawat Indonesia bekerja di Perawatan Lansia. Tentu istilah “panti jompo” sangatlah berbeda dengan panti jompo yang ada di Indonesia.
Angka usia lansia menjadi duduk kasus tersendiri di negara-negara maju ibarat Eropa ataupun Jepang. Mobilitas yang tinggi untuk kaum muda dan meningkatnya angka ketergantungan para lansia, menciptakan verpleeghuis atau rumah perawatan menjadi berkembang. Mungkin saja di Indonesia dengan bertambahnya waktu dan meningkatnya kemakmuran, akan dibutuhkan rumah- rumah perawatan untuk para lansia.
Salah satu mimpi saya juga bisa membangun rumah perawatan lansia, siapa mau join?
Diterima kuliah master keperawatan di universitas Utrecht menjadi pujian tersendiri bagi saya, tetapi begitu mengetahui biayanya, menciptakan mundur seribu langkah. Universitas – universitas Belanda menggunakan sistem yang sangat praktis untuk orang-orang berpaspor Uni Eropa. Sedangkan orang yang memiliki paspor di luar Eropa ibarat saya, sama sekali tidak mendapatkan subsidi, kecuali full beasiswa.
Sempat sangat kecewa dengan tingginya biaya kuliah master keperawatan ini, sekitar 19.000 euro selama master. Kalo 1 euro Rp 12. 000,- berarti saya harus membayar sekitar 230-an juta, belum biaya buku segala macamnya.
Cari- cari isu karenanya saya mendaftarkan kuliah di Belgia, Universitas Antwerpen tepatnya. Lain halnya dengan Belanda, Belgia termasuk negara Eropa yang murah untuk bisa kuliah S2, tetapi proses perkuliahnnya lebih ketat dan lebih sulit dari Belanda (yang saya dengar).
Tentu saja ujian bahasa menjadi terberat bagi saya, walaupun bisa berbahasa Belanda tetapi untuk ukuran master menjadi hambatan tersendiri. Belgia memang sama berbahasa Belanda, tetapi bahasa Belanda mereka layaknya bahasa Indonesia antara Indonesia dan Malaysia.
Begitu senangnya karenanya saya diterima juga masuk di Universitas kenamaan di Antwerpen. Bagi sobat sahabat yang kepingin melanjutkan kuliah di Eropa dengan biaya terjangkau, Belgia atau Jerman merupakan negara yang tepat.
Masuklah pada masa orientasi di universiats Antwerpen. Satu-satunya orang asia menciptakan perasaan besar hati dan juga sekaligus agak terkucil.
Ketika nama saya disebut semua pada menoleh, nama yang aneh mungkin bagi mereka. Ada yang bilang saya dari Cina, Korea, ataupun Jepang. Sedih juga tidak ada yang menebak saya dari Indonesia.
Apakah negara kita memang belum layak diperhitungkan ya?
Seiring berjalannya waktu, sekolah ini tidak semudah yang saya bayangkan, butuh extra kerja keras yang benar benar extra alasannya perbedaan bahasa. Tentu saja saya tidak mau mengalah begitu saja. Tetapi kalau memang istilahnya mentok, pengalaman ini merupakan pengalaman yang sangat berharga.
Profesi perawat banyak mengantarkan banyak teman- sobat bisa ke mana saja, yang belum tentu dimiliki oleh profesi yang lain.
Jiwa wirausaha yang kini banyak berkembang di darah para perawat, khususnya temen-temen di INT menciptakan saya membuka mata bahwa perawat bukanlah katak dalam tempurung. Bahkan, nurses bisa juga menjadi seganas singa, yang bisa merajai hutan.
Jujur, saya juga banyak terinspirasi oleh teman-teman INT. Setelah pulang lagi ke Indonesia, tetap mengajar dan berwirausaha yaitu cita cita saya selanjutnya.(Yusuf Wibisono).
Baca juga : Mau tau ihwal Keperawatan di Belanda?Sumber https://medianers.blogspot.com/
0 Response to "Berpikir Besar Kalau Anda Ingin Menjadi Besar, 'Enjoy Nursing'"
Posting Komentar