Amolongo


Amolongo 
Oleh: H.Asep Hermawan Sanudin, AMK, SE, RN, NREMTB

Sudah hampir seminggu di Tembagapura. Ujang merasa suntuk dengan kondisi geografis yang sangat jauh berbeda dengan kota kelahirannya. Matahari hanya muncul sekitar dua jam dalam sehari. Kabut tebal selalu menyelimuti kota itu. Diselingi hujan rintik-rintik. Hawa yang ekstrim hirau taacuh menciptakan nafas terengah-engah. Singlet, kaos, baju seragam dan jaket membaluti tubuh Ujang ke tempat kerja yang jaraknya sekitar 100 meter dari barak.

Gunung-gunung mengelilingi kota Tembagapura. Jalan jalan terjal hampir setiap pagi dipenuhi bus-bus besar mengangkut para pekerja tambang emas. Pagi sekitar jam 05:30 Ujang dan Tyo pergi ke Mess Hall yang terletak di bawah tempat tinggal. Makanan hangat telah berjejer bebas sesukanya tanpa dipungut biaya. Hanya dengan memperlihatkan kupon makan ke Satpam para karyawan bisa masuk untuk menyantap hidangan.

Kebetulan ahad itu masih dalam proses orientasi kerja dan pelatihan Basic Life Support (BLS) dan Advance Life Support (ACLS). Ada delapan orang penerima di dalam internal pelatihan tersebut. Materi-materi harus benar dikuasai sebelum terjun ke dunia Emergency. 

‘’Ini gambar EKG apa dik?’’ pelatih nanya.
‘’Asystole!’’ salah satu penerima pelatihan mencoba menjawab. 
‘’Cukimai dik! Salah! Bisa mati nanti pasennya!’’ dengan bergurau.
‘’Mr.Instructor, please don’t use Cukimai word! It’s sound bad!’’ Ms. Brenda, supervisor asal Irlandia itu komplen kepada si pelatih alasannya menggunakan kata umpatan.
‘’I’m sorry Bu Brenda!’’ tukas trainer.

Ujang dan Tyo lulus pelatihan tersebut. Mereka segera dirotasikan ke area Ward, dan Emergency Room (ER). 

‘’Besok Ujang kerja di Emergency Tembagapura ya?’’ pak Rustam (ER Supervisor) menginstruksikan. 
‘’Iya pak.’’
‘’Sementara Tyo ke Banti Hospital.’’
‘’OK pak.’’ Sahut Tyo.

Ditugaskan untuk pertama kalinya di ER, Ujang termasuk cepat di dalam beradaptasi. Semua loker diamatinya. Letak obatan-obatan, mekanisme dan alat-alat penunjang dipahaminya dengan mudah. Menjelang siang ada penduduk lokal tiba ke ER.

‘’Kenapa bapak?’’ tanya perawat senior. 
‘’Kepalas takis! Kepala mau pecah!’’

Lelaki berompi tambang itu menggigil. Ujang dengan cekatan mengukur tekanan darah dan menilik suhu badan. Suhu tubuh pasien itu panas.

‘’Nanti bapak kasih tau dokter ya?’’ 
‘’Bapak tak mau dokter belah-belah.’’ jawab si pasen. 

Tak usang dokter datang. Setelah diperiksa dengan seksama.

‘’Tolong cek dengan Malaria Test.’’

Setelah dicek dengan menggunakan Malaria Strip, hasilnya faktual Malaria Palcifarum.

‘’Segera kirim ke ruangan untuk diobservasi dan mainkan pengobatan Malaria!’’ perintah dokter. 

Memang biasanya sesudah karyawan bepergian ke daerah Timika di dataran rendah banyak yang terkena penyakit Malaria dikarenakan memang daerah itu endemik nyamuk Anopeles. 

Tugas di kepingan ER terasa melelahkan. Berbeda dengan bekerja di Puskesmas tempat Ujang bekerja sebelum ke Papua. Selalu ada saja kasus kedaruratan yang perlu ditangani secara cepat dan akurat. Akhirnya, dua ahad penugasan di RS Tembagapura selesai. Pindah ke Banti Hospital.

RS Banti kurang lebih tiga puluh menit dari kota Tembagapura. Menuruni jalan yang terjal sambil terkantuk-kantuk di pagi hari menggunakan kendaraan 4 WD. Sungai mengalir deras di samping bawah jalan berkerikil itu. Sepanjang jalan terlihat penduduk setempat berjalan kaki. Mereka bergerombol berjajar memanjang. Di kepala ibu-ibu digantungkan noken (baca: homogen tas) yang bisa diisi sayuran bahkan anak babi. Terlihat juga perbukitan bersahabat Banti Hospital ada perumahan penduduk yang telah disediakan perusahaan. 

Siang itu di RS Banti, Ujang kedatangan ibu-ibu membawa anak kecil.

‘’Amole!’’ sapa Ujang.
‘’Amole!’’ sapa ibu-ibu di ER.

Amole ialah kata sapaan menyerupai halo.

‘’Kenapa mama?’’
‘’Anak menangit terus. Semalam tidak bisa tidur.’’

Perawat Senior memperlihatkan Adol suppositoria (baca: obat yang dimasukan ke dalam dubur) ke anak kecil tersebut dan pribadi memberitahukan ke dokter jaga. Menurut info, ada sekitar tujuh suku yang bermukim di sekitar daerah Tembagapura. Mereka bisa mengakses akomodasi kesehatan secara gratis. Diantara ketujuh suku itu adalah: Amungme, Moni, Dani, Kamoro dll. Satu unit helicopter selalu stand-by untuk melayani penduduk setempat dari pegunungan sekitar lokasi tambang. 

Begitulah keseharian Ujang di tempat kerja barunya. Setelah pulang ke barak beliau merasa lemas dan lapar. Acapkali, malam harinya Ujang dan Tyo pergi ke akomodasi hiburan menonton filem di Bioskop. 

‘’Amolongo!’’ Ujang menyapa orang lokal yang sedang berkerumun di bersahabat Shoping Bujang (tempat belanja). 

Sudah menjadi tradisi penduduk lokal, kalau melewati orang yang sedang duduk harus mengucapkan kata Amolongo (bentuk jamak dari Amole!). Sapaan tersebut sebagai bentuk penghargaan atau pun salam. Setelah mata terasa ngantuk, Ujang dan Tyo balik ke barak. 

Suasana barak memang tidak mengecewakan luas. Ada dua tempat tidur susun dan empat loker kecil. Sementara di bersahabat meja ada pemanas ruangan. Meski menggunakan hiter, Ujang dan Tyo menggigil kedinginan. Baju dobel, kaos kaki dan kupluk ialah pakaian wajib setiap malam. 

*****

Meskipun terbilang di daerah pegunungan, tapi fasilitasnya tak kalah elok dengan perkotaan. Tempat belanja (Carefour), Fitness Centre, Library, lapangan sepak bola, tempat ibadah semua tersedia. Memang Tembagapura dijuluki negeri di atas awan. 

Sebagian barang-barang diimpor dari Australia. Coklat dan kudapan melimpah ruah bermerek negara Kangguru. Ujang pergi ke tempat belanja membeli coklat untuk buah tangan untuk adik-adiknya di kampung halamannya. 

Sehari sebelum pulang, Ujang dan Tyo menghadap Chief Nurse. Didapatinya kepala perawat asal Flores itu di kantor.

‘’Ujang, menurut penilaian baik dari laporan rekan-rekan kerja dan perawat senior menyimpulkan bahwa Ujang masih perlu meningkatkan kemampuan. Ada yang perlu digaris bawahi, ada laporan bahwa Ujang hanya duduk membisu saja saat perawat senior sibuk. Apa betul?’’

‘’Itu nggak betul, Bu! Kalau boleh tahu siapa yang melaporkan saya? Masa orang lagi sibuk kerja, saya hanya duduk manis? Nggak mungkin!’’
‘’Laporan ini akan saya kirimkan ke kantor Jakarta.’’
‘’Jadi, saya akan dikirim ke lokasi mana lagi sesudah masa probation ini Bu?’’
‘’Saya kurang tau secara pasti. Orang Jakarta akan mengurus.’’

Ujang merasa kecewa dengan penilaian yang bersifat subjektif. Tuduhan para perawat senior itu tidak mendasar. Tapi, beliau tak menghiraukan. Kalau masih elok kerjanya tentu kantor Jakarta akan mengirimnya ke lokasi lain. 

Saatnya pulang yang ditunggu-tunggu datang. Ujang dan Tyo yang berposisi sebagai Rotating Paramedic dari perusahaan Medical Service Jakarta karenanya meninggalkan Tembagapura. Mereka berpamitan kepada para staff. Ujang membeli cendera mata patung karya suku Asmat sebagai mengambarkan beliau pernah menjejakkan kaki di pulau tempat habitat burung Cenderawasih itu. Kunjungan mereka ke sana merupakan yang pertama dan terakhir, alasannya Ujang sesudah libur satu ahad dikirim ke tambang emas di Pulau Sumbawa, NTB pada bulan Agustus 2002.

 Ujang merasa suntuk dengan kondisi geografis yang sangat jauh berbeda dengan kota kelahir Amolongo
Sebelah kiri dari layar monitor Asep Hermawan Sanudin ( tokoh Ujang).  
TAMAT

Doha, 12 Agustus 2012

asepsepta@gmail.com


Sumber https://medianers.blogspot.com/

0 Response to "Amolongo"

Posting Komentar