Di kawasan pesisir pantai Sumatera Barat, menyerupai kawasan Pariaman dan Kota Padang, mulai sulit ditemukan. Kalaupun ada, Rumah Gadang bukan lagi jadi rumah penduduk, tapi sebagai Rumah Budaya, atau perkantoran milik pemerintah daerah. Sedangkan di kawasan daratan, menyerupai Padang Panjang, Batu Sangkar, Solok dan Payakumbuh masih banyak dijumpai penduduk yang tinggal dan menempati rumah gadang. Namun, rumah gadang yang dihuni tersebut merupakan peninggalan, bukan bangunan baru.
Sabtu sore, sekitar pukul 15.00 wib, (13/02/2015) saya dengan 3 orang teman menyempatkan diri berkunjung ke Rumah Gadang yang terletak di Sungai Beringin, perbatasan antara Kota Payakumbuh dan Kabupaten Lima Puluh Kota dengan maksud ingin memotret serta menggali isu siapa pemiliknya dan apa motivasi dia membangun rumah gadang yang indah dan megah, sementara yang lain lebih bahagia membangun rumah modern bernuansa eropa.
Setibanya di lokasi, di sisi kanan pintu masuk gerbang, ada pos penjagaan, bagi pengunjung di kenakan biaya masuk, di papan pengumuman tertulis, " berakal balig cukup akal Rp. 5000/kepala dan Anak-anak Rp.3000/kepala. Saat saya datang, petugasnya sedang tidak di tempat. Saya terus masuk dan memarkirkan kendaraan sekitar 5 meter dari pos penjagaan. Ketika menuju ke dalam, kami (saya dan sahabat) di cegat oleh seorang ibu paruh baya memakai sepeda onthel dan bertopi lebar pelindung dari terik matahari, ia menghampiri kami untuk memungut biaya masuk. Ternyata ibu tersebut penjaga rumah gadang.
Dari 4 orang yang masuk, hanya 3 orang dipungut, kebetulan sobat saya satunya lagi cowok setempat. Ibu tersebut mengenalinya, warga sekitar tidak dikenakan biaya oleh pihak pengelola. Ibu itu tidak mengecewakan ramah melayani kami.
0 Response to "Potret Rumah Gadang Sungai Beringin"
Posting Komentar