Pada bulan April 2016 Mentri Kesehatan Nila Farid Moeloek menanda tangani Peraturan Mentri Kesehatan (PMK) Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktek Penata Anestesi. Yang mana peraturan sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif Di Rumah Sakit dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. (Ralat: yang dicabut PMK No. 31 Tahun 2013. Sedangkan PMK No.519 Tahun 2011 harus dibaca dan dimaknai sebagai Penata Anestesi).
Jadi, peraturan yang di pakai oleh Penata Anestesi dalam bekerja ketika ini adalah Peraturan Mentri Kesehatan (PMK) Nomor 18 Tahun 2016 yang menjelaskan perihal ruang lingkup kerja, serta tindakan berdikari dan tindakan kerja sama Penata Anestesi di Rumah Sakit. Dalam peraturan tersebut, Penata Anestesi mempunyai "senjata" namanya Asuhan Kepenataan yang lingkupnya dalam 3 kategori kecil, diantaranya :
- Praanestesi;
- intraanestesi;
- Dan, pascaanestesi.
Pelayanan Asuhan kepenataan praanestesi yaitu melaksanakan pengkajian pra anestesia yang meliputi:
- persiapan manajemen pasien;
- pemeriksaan gejala vital;
- pemeriksaan lain yang dibutuhkan sesuai kebutuhan pasien baik secara inspeksi, palpasi, maupun auskultasi;
- pemeriksaan dan penilaian status fisik pasien;
- analisis hasil pengkajian dan merumuskan duduk masalah pasien;
- evaluasi tindakan penatalaksanaan pelayanan pra anestesia, mengevaluasi secara berdikari maupun kolaboratif;
- mendokumentasikan hasil anamnesis/ pengkajian;
- persiapan mesin anestesia secara menyeluruh setiap kali akan digunakan dan memastikan bahwa mesin dan monitor dalam keadaan baik dan siap pakai;
- pengontrolan persediaan obat-obatan dan cairan setiap hari untuk memastikan bahwa semua obat-obatan baik obat anestesi maupun obat emergensi tersedia sesuai standar rumah sakit;
- memastikan tersedianya sarana prasarana anestesia berdasarkan jadwal, waktu, dan jenis operasi tersebut.
Sedangkan, Pelayanan asuhan kepenataan intraanestesi sebagai berikut:
- pemantauan peralatan dan obat-obatan sesuai dengan perencanaan teknik anestesi;
- pemantauan keadaan umum pasien secara menyeluruh dengan baik dan benar;
- pendokumentasian semua tindakan yang dilakukan biar seluruh tindakan tercatat baik dan benar.
Kemudian, Pelayanan Asuhan Kepenataan pascaanestesi meliputi:
- merencanakan tindakan kepenataan pasca tindakan anestesia;
- penatalaksanaan dalam manajemen nyeri sesuai arahan dokter seorang jago anestesi;
- pemantauan kondisi pasien pasca pemasangan kateter epidural;
- pemantauan kondisi pasien pasca pertolongan obat anestetika regional;
- pemantauan kondisi pasien pasca pertolongan obat anestetika umum;
- evaluasi hasil kondisi pasien pasca pemasangan kateter epidural;
- evaluasi hasil pemasangan kateter epidural dan pengobatan anestesia regional; penilaian hasil pemasangan kateter epidural dan pengobatan anestesia umum;
- pelaksanaan tindakan dalam mengatasi kondisi gawat;
- pendokumentasian pemakaian obat-obatan dan alat kesehatan yang dipakai;
- pemeliharaan peralatan biar siap untuk digunakan pada tindakan anestesia selanjutnya.
Demikianlah, uraian kiprah Penata Anestesi menurut Peraturan Mentri Kesehatan (PMK) Nomor 18 Tahun 2016 yang tertuang pada BAB III perihal Penyelenggaraan Praktik Keprofesian Penata Anestesi. Sedangkan tindakan kerja sama atau tindakan pelimpahan wewenang Penata Anestesi diatur pada Pasal 12 hingga pasal 20, bahwa Penata Anestesi sanggup melaksanakan pelayanan:
- di bawah pengawasan atas pelimpahan wewenang secara mandat dari dokter seorang jago anestesiologi atau dokter lain; dan/atau berdasarkan penugasan pemerintah sesuai kebutuhan.
Di Pasal 13, Pelimpahan wewenang secara mandat dari dokter seorang jago anestesiologi atau dokter lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dalam rangka membantu pelayanan anestesi meliputi:
- pelaksanaan anestesia sesuai dengan arahan dokter seorang jago anestesiologi;
- pemasangan alat monitoring non invasif;
- melakukan pemasangan alat monitoring invasif;
- pemberian obat anestesi;
- mengatasi penyulit yang timbul;
- pemeliharaan jalan napas;
- pemasangan alat ventilasi mekanik;
- pemasangan alat nebulisasi;
- pengakhiran tindakan anestesia; dan
- pendokumentasian pada rekam medik.
Di Pasal 14, menjelaskan perihal Pelimpahan wewenang berdasarkan penugasan pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan dalam hal tidak terdapat dokter seorang jago anestesiologi di suatu daerah. Dan, Pelayanan dalam rangka pelimpahan wewenang hanya sanggup dilakukan oleh Penata Anestesi yang telah menerima pelatihan. Pelayanan dalam rangka pelimpahan wewenang meliputi:
- pelayanan anestesi sesuai dengan kompetensi embel-embel yang diperoleh melalui pelatihan.
- Pelatihan sebagaimana dimaksud harus terakreditasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pelimpahan wewenang berdasarkan penugasan pemerintah hanya sanggup dilaksanakan di kemudahan pelayanan kesehatan milik Pemerintah dan/atau pemerintah tempat telah terdapat dokter seorang jago anestesiologi,
- Sedangkan wewenang untuk melaksanakan pelayanan berdasarkan penugasan pemerintah tidak berlaku dalam keadaan darurat untuk evakuasi nyawa;
- Penata Anestesi sanggup melaksanakan tindakan pelayanan anestesi di luar wewenangnya dalam rangka pertolongan pertama;
- Pertolongan pertama ditujukan untuk mengurangi rasa sakit dan menstabilkan kondisi pasien;
- Penata Anestesi wajib merujuk pasien kepada tenaga kesehatan yang berkompeten sesudah pertolongan pertama selesai dilakukan.
Bila dicermati dengan seksama, Asuhan Kepenataan berdikari Penata Anestesi lebih berorientasi pada hal teknis pengelolaan administrasi, mesin dan obat, kemudian di tindakan kerja sama Penata Anestesi berada di wilayah "cure" yakni tindakan medis invasif. Serta format Asuhan Kepenataan juga tidak dijelaskan.
Dalam hal ini, medianers berpandangan akan muncul suatu hari nanti duduk masalah aturan atau "konflik" kepentingan antara Penata Anestesi dengan dokter anestesi. Sebab, Penata anestesi melalui Peraturan Mentri Kesehatan (PMK) Nomor 18 Tahun 2016 diberi kewenangan "abu-abu" atau direstui oleh permenkes memasuki tindakan "cure" yang mana yakni kewenangan medis. Seperti: Pada Pasal 20, Ayat 1, " Dalam melaksanakan praktik keprofesiannya, Penata Anestesi mempunyai kewajiban: ada 5 poin, salah satu diantaranya berbunyi, pada poin d "meminta persetujuan tindakan yang akan dilaksanakan kepada pasien." Artinya Penata direstui PMK 18 Tahun 2016 melakukan/ meminta pada pasien persetujuan tindakan dalam pemahamam penulis, persetujuan tindakan sama dengan informed content (persetujuan tindakan medis/ kedokteran).
Menurut Undang-Undang, Persetujuan tindakan medis ( informed content) yakni kewenangan dokter dan dokter gigi, hal tersebut diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Serta, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 perihal Persetujuan Tindakan Medik
Menurut Undang-Undang, Persetujuan tindakan medis ( informed content) yakni kewenangan dokter dan dokter gigi, hal tersebut diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Serta, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 perihal Persetujuan Tindakan Medik
Namun, ketika ini mengingat tidak meratanya penyebaran serta langkanya tenaga dokter jago anestesi masuk ke tempat kabupaten/ kota di luar pulau jawa, terutama DKI, maka kebijakan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Mentri Kesehatan (PMK) Nomor 18 Tahun 2016 dapat dimaklumi.
Berjalannya waktu, apa kalau telah banyaknya dokter jago anestesi mengisi Rumah sakit tempat dan lancarnya distribusi serta meratanya penyebaran dokter anestesi ke daerah, maka Penata Anestesi berpotensi dipaksa meninggalkan wilayah abu-abu "cure" dan penata anestesi berpotensi mencaplok wilayah "care" sebab kehilangan lahan "cure." Bila Penata Anestesi merembet ke wilayah "care" maka sebagaimana berdasarkan Undang-Undang Keperawatan hal itu yakni wilayah Perawat. Dalam hal ini, Perawat Anestesi.
Terkait : Ada Apa Antara IPAI dan HIPANI
Untuk itu, PPNI melalui HIPANI haruslah segera melaksanakan lobi politik di level kementrian dan dewan perwakilan rakyat untuk menerbitkan peraturan mentri kesehatan yang mengatur sebagai aliran khusus ruang lingkup Asuhan Keperawatan Perawat Anestesi di Rumah Sakit, terutama di Instalasi Bedah Sentral dan unit terapi intensif, biar suatu hari nanti Penata Anestesi tidak mencaplok wilayah "care" yang mana ranahnya Perawat di Rumah Sakit. Dan, format Asuhan Keperawatan hendaknya jangan pula hingga dimodifikasi menjadi Asuhan Kepenataan. PPNI melalui HIPANI harus menegaskan melalui peraturan/ perundangan yang mengikat. Sekian.(AntonWijaya)
Sumber https://medianers.blogspot.com/
0 Response to "Mencermati Kewenangan Klinis Penata Anestesi Berdasarkan Pmk 18 Tahun 2016 Dan Prospek Kedepannya?"
Posting Komentar