Terkait : Mencermati Arogansi Zumi Zola Kepada Petugas Kesehatan di RSUD Raden Mattaher
Seperti telah diskenariokan sebelumnya, Zumi Zola masuk ke ruangan perawat yang gelap, kemudian mendapati beberapa orang petugas kesehatan diduga tertidur, dengan nada tinggi penguasa Jambi ini membentak dengan keras, menyuruh petugas kesehatan keluar ruangan, kemudian diinterogasi dengan "angel" menyerupai sudah diskenariokan pula.
Peristiwa ini menjadi viral di media sosial, bahkan Zumi Zola menerima panggung di media tv nasional untuk menjelaskan bencana ini lengkap dengan dalih banyaknya keluhan masyarakat terhadap RSUD Mattaher.
Beragam jawaban tiba mulai dari dokter, perawat, maupun masyarakat terhadap blusukan yang dilakukan Zumi Zola. Tenaga kesehatan baik itu dokter maupun perawat terkesan membela diri, mereka menyampaikan bahwa dokter atau perawat boleh saja istirahat bila kondisi pasien tidak ada yang membutuhkan observasi ketat.
Sebagian lagi berpendapat, tidak elok meninggalkan pos jaga alasannya yaitu sewaktu-waktu sanggup saja ada pasien yang gawat. Sehingga akan kalah cepat bila keluarga harus mengetuk, membangunkan bahkan menunggu petugas, gres menuju daerah tidur pasien.
Akan berbeda, bila keluarga sanggup melaporkan pasien yang gawat pribadi di pos jaga dengan perawat atau dokter siaga. Kesiapsiagaan petugas kesehatan di pos jaga, sekaligus sanggup mengurangi potensi kelalaian maupun malpraktik ketika mereka melaksanakan tindakan bagi pasien.
Bagaimana dengan Zumi Zola, 'Apakah agresi 'koboi' sudah tepat?
Nah, ini yang menjadi polemik alasannya yaitu dia yaitu pejabat publik. Ada perkiraan bila dia sedang mencuri perhatian publik. Sebagai penguasa negeri tentu tidak sulit bagi dia untuk memanggil pimpinan Rumah Sakit bila ada hal yang begitu meresahkan.
Apakah hal ini pernah dilakukan? Sebagai seorang aparatur, mengingatkan melalui pimpinan Rumah Sakit tentu lebih efisien, juga training yang dilakukan lebih
Lalu, disinyalir ada aktivitas yang akan dilakukan sang penguasa negeri, apakah itu perombakan administrasi atau pembenahan sistem pelayanan Rumah Sakit. Karena, bagi politisi ini sah-sah saja sepanjang untuk memperbaiki pelayanan sesuai peraturan yang berlaku, bukan atas pesanan atau kepentingan tertentu.
Lalu, bagaimana tenaga kesehatan menyikapi cara Zumi Zola melaksanakan sidak? Ini yang menjadi kontraproduktif, sah-sah saja Zumi Zola melaksanakan sidak namun terkesan tidak etis ketika dia memakai gaya feodal. Lihat saja, bagaimana dia menghardik dan membentak petugas kesehatan di depan publik. Kemudian, bencana ini menyebar ke seluruh pelosok negeri.
Apakah Zumi Zola memang dengan sengaja mengharapkan sorotan media dengan tingkah lakunya yang jadinya memang menjadi "trending topic"? Kalau benar menyerupai itu, dia telah mendapatkannya. Lalu, bagaimana dampak dari perbuatan yang tidak menyadari dampak, berakibat kepada merendahkan profesi kesehatan, tidak saja di Jambi tapi di seluruh Indonesia.
Pemberitaan miring sangat menohok profesi kesehatan, seakan-akan mereka begitu kerdil di depan penguasa. Padahal kita tahu, begitu besar dedikasi setiap tenaga kesehatan untuk negeri ini. Mereka ikut menyumbangkan indeks kesejahteraan bangsa, melalui tangan-tangan mereka, masyarakat yang terancam nyawanya terselamatkan, masyarakat yang sakit menjadi sembuh dan sanggup bekerja menyerupai sediakala.
Bahkan, terkadang mereka lebih mengutamakan kepentingan pasien dibandingkan kepentingan keluarganya. Sehingga, sangat masuk akal bila setiap pemimpin sanggup menghargai tenaga kesehatan. Dalam kondisi perang saja, tenaga kesehatan menerima perlakuan khusus, dihentikan ditembak alasannya yaitu mereka sudah didoktrin menjadi petugas kemanusiaan yang harus membantu tentara yang terluka, meski itu musuhnya.
Berbagai 'korps' tenaga kesehatan mulai menawarkan komentar bahwa Zumi Zola melaksanakan perbuatan yang "tidak menyenangkan". Mulai dari IDI, DIB, PPNI menyayangkan "kekerasan psikis" yang dilakukan sang penguasa. Betapa tidak, kekerasan psikis yang dilakukannya menawarkan tekanan yang seharusnya tidak dilakukan kepada petugas kesehatan. Karena, WHO telah menekankan "zero tolerance" terhadap kejahatan fisik maupun psikis bagi petugas kesehatan ketika bekerja.
Saatnya mengambil hikmah, nasi sudah menjadi bubur, bagaimanapun jua bubur tetap sanggup dikonsumsi. Setiap bencana niscaya ada hikmahmya, pembelajaran bagi petugas kesehatan untuk mengutamakan pasien dan pembelajaran bagi Sang Gubernur supaya lebih berakal dan bijaksana. Semoga, kemudahan pelayanan kesehatan selalu menawarkan yang terbaik bagi masyarakat. Sehingga, keinginan setiap pemimpin untuk kesejahteraan rakyat sanggup diwujudkan. Penulis: Dudut Tanjung, Pusat Kajian Indonesia Sehat (Mahasiswa Program Doktoral FIK UI).
Sumber https://medianers.blogspot.com/
0 Response to "Nan Tersisa Paska Agresi 'Koboi' Zumi Zola"
Posting Komentar