Aksi Mogok Kerja Dokter Dan Perawat Mewabah Di Daerah

 Aksi mogok kerja tenaga kesehatan di kawasan Aksi Mogok Kerja Dokter dan Perawat Mewabah di Daerah

Aksi mogok kerja tenaga kesehatan di daerah, semakin mengkhawatirkan. Bagaikan 'wabah' sewaktu-waktu sanggup menular ke banyak sekali propinsi dan kawasan di seluruh Indonesia.

Hal ini, berawal dari pembagian jasa pelayanan yang belum terorganisir dengan baik, semenjak di diberlakukannya kegiatan BPJS oleh pemerintah pusat. 

Silahkan masukan kata kunci di mesin pencari, ihwal " Alasan Dokter dan Perawat Mogok kerja terkait pembagian jasa pelayanan", maka anda akan menemukan banyak gosip ihwal agresi mogok kerja yang dilakukan dokter dan perawat di Rumah Sakit milik pemerintah daerah.

Pertanyaannya mengapa tenaga medis dan paramedis ini tega melaksanakan agresi mogok, melalaikan pasien? Jawabnya sederhana, lantaran adanya ketidak adilan dalam mendapat hak. Hak berupa uang, yang dikenal dengan uang jasa pelayanan.

Aksi mogok Dokter dan Perawat terkait pembagian uang jasa pelayanan lebih banyak didominasi terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah ( RSUD), tidak di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) milik pemerintah pusat. 

Kenapa demikian?

Karena peraturan pembagian jasa tiap-tiap masing RSUD itu berbeda. Pembagian berdasarkan SK Gubernur/ bupati/walikota. Antara Rumah Sakit satu dengan lainnya peraturan pembagian jasa pelayanan akan beragam. 

Sedangkan pembagian jasa pelayanan di RSUP milik pemerintah sentra ( Kemenkes) mengacu pada jenjang karir yang sudah di menetapkan berdasarkan Permenkes. Kebijakan tersebut berlaku pada semua akomodasi pelayanan Rumah Sakit di bawah naungan Kemenkes, tanpa kecuali. Tapi, Peraturan tersebut tidak di adopsi di RSUD milik pemerintah daerah.

Jika ditelusuri, pendapatan antara pihak manajemen RSUD, berbeda dengan pihak Medis. Begitu juga antara Paramedis dan tenaga penunjang. Pembagiannya mengacu pada Pergub/Perbup/Perwako. Peraturan tersebut dibentuk berdasarkan kesepakatan, yang dimusyawarahkan dalam rapat internal RSUD, kemudian di olok-olokan oleh pihak RSUD ke Pemda/Pemko.

Di dikala penggodokan persentase pembagian jasa pelayanan, biasanya akan terjadi perdebatan alot, dan saling klaim antar profesi, lantaran semua merasa saling berjasa. Di sinilah dasar utama pemicu konflik. Ada ketidak puasan dari salah satu atau salah dua dari masing-masing profesi.

Pihak manajemen RSUD sebagai  penyelenggara kelancaran manajemen dan akomodasi Rumah Sakit tentunya beropini mereka yang pantas sanggup jasa pelayanan yang banyak. Sementara tenaga Medis sebagai profesi yang dicari pasien untuk berobat, sah-sah saja mengklaim tanpa mereka Rumah Sakit mau jadi apa?

Juga demikian Perawat dan Bidan sebagai tenaga Keperawatan berpendapat, meskipun yang di cari pasien ialah tenaga medis, tanpa Perawat dan Bidan sebagai profesi yang menjaga pasien nonstop 24 jam, apakah mungkin di beri uang jasa pelayanan sedikit?

Demikian hal nya tenaga penunjang dan administrasi, mereka juga berhak mengklaim, tanpa mereka apakah sanggup 'roda' pelayanan sanggup bergulir dengan lancar? 

Semua profesi, antar lini, saling membutuhkan, dan saling ketergantungan. Namun, besar atau kecilnya pendapatan berdasarkan donasi masing-masing profesi. 

Nah, untuk mendudukan besar kecilnya donasi dalam bentuk persentase ini yang selalu jadi masalah, dan berpotensi membuat konflik internal antar profesi, lantaran ketidak puasan, merasa ada yang di rugikan. Yang akhirnya, melaksanakan agresi mogok sebagai wujud ketidak puasan , dan sebagai pembuktian diri, bahwa tanpa mereka pelayanan akan jadi lumpuh. Dampak akhir, pasien terabaikan, masyarakat marah, anggota dewan turun tangan, alhasil pemda/pemko menjadi kewalahan.

Apakah agresi mogok kerja menunjukkan solusi?

Pastinya tidak. Aksi mogok kerja berdasarkan penulis akan membawa efek negatif, kekerabatan antar profesi akan menjadi renggang, menjadi tidak "berkelamakan" hati antara petugas satu dengan yang lainnya. Akhirnya kinerja menurun, gambaran dimasyarakat pun menjadi tak elok, dan pelayanan ke pasien menjadi terganggu.

Meskipun dimenangkan tuntutan oleh salah satu pihak, belum tentu memuaskan pihak lain, akan muncul lagi agresi mogok kerja oleh profesi lainnya, lantaran mereka sanggup saja beropini dengan menerangkan siapa kita, maka tuntutan akan dikabulkan, perkiraan penulis saja. Akhirnya, bagaikan bundar yang tak solutif.

Sebaiknya bagaimana ?

Penulis berpandangan, apa yang telah diterapkan oleh Rumah Sakit Umum Pusat milik Kemenkes dalam sistim pembagian jasa pelayanan sepatutnya di adopsi oleh pihak RSUD milik daerah, dilakukan sistim jenjang karir, setiap tenaga mempunyai level/tingkatan. Level berdasarkan, pendidikan, masa kerja, pangkat/golongan, kebijakan berlaku pada seluruh petugas, tanpa kecuali.

Terkait penerapan jenjang karir, Penulis telah memposting di dengan judul " Kendala penerapan jenjang karir perawat di RSUD milik pemerintah daerah". Seandainya sistim remunerasi pembagian jasa pelayanan di RSUD milik pemerintah kawasan tidak sanggup diterapkan berdasarkan jenjang karir, sebagaimana yang telah diterapkan oleh RSUP milik pemerintah pusat, maka idealnya ada semacam peraturan dari kementrian kesehatan cara pembagian yang wajib di taati oleh seluruh RSUD milik pemerintah daerah, bukan pembagiannya hanya berdasarkan janji oleh beberapa pihak. ( AntonWijaya).


Sumber https://medianers.blogspot.com/

0 Response to "Aksi Mogok Kerja Dokter Dan Perawat Mewabah Di Daerah"

Posting Komentar