Arloji di asisten membuktikan pukul 11.30 wib. Matahari mulai tampak dengan gagah bangkit sejajar di atas atap kampus. Baju pecahan dada nyaris lembab oleh keringat, di dalam kelas tidak ada Air Conditioner (AC) atau kipas angin, yang ada hanya ventilasi, berharap angin segar menyusuri ruang-ruang kosong biar udara sanggup menyejukkan badan yang sedang gerah.
Hawa panas tidak saja tiba dari arah pantai, tapi juga alasannya ruangan yang sesak di isi oleh 50 orang mahasiswa baru. Kelas kami persegi empat, kira-kira berukuran lebar 6 meter dan panjang 10 meter, di isi 51 bangku lengkap dengan daerah menulis dan 1 meja serta perlengkapan alat peraga ajar- mengajar dosen.
Suasana tidak nyaman, ribut, teman-teman seangkatan saling ngobrol satu sama lain, alasannya dosen tidak ada dalam kelas, termasuk saya asyik juga bicara dengan Dodi, sahabat gres yang duduk di samping. Seakan-akan suasana dalam lokal menyerupai di program pesta ulang tahun sahabat ku waktu SLTA.
Yah, ini hari pertama berada dalam kelas. Aku belum kenal dengan semua mahasiswa gres yang ada dalam ruangan, alasannya saya telat masuk, baca ceritanya di " Kenalan gres pada kuliah perdana ".
Tiba- tiba. "Kakak tingkat 3 datang, cepat rapikan posisi" ucap salah seorang mahasiswi berjalan sambil tergesa-gesa dari luar menuju ke dalam kelas, ia memberi isyarat sambil mencari bangku daerah duduknya. Mahasiswi itu seangkatan dengan ku, kami satu kelas. Sementara yang lain sibuk mencari daerah duduk masing-masing dan merapikan posisi, seketika kelas menjadi hening. Seperti ada yang menahan nafas.
Aku heran, kenapa mereka semua, sahabat sekelas ku begini? Apakah mereka takut atau patuh pada senior? Sambil bertanya-tanya dalam hati.
Seketika, Dodi berbisik di indera pendengaran ku "Mereka akan menghajarmu kawan, Ia menempati janjinya."
Suara gaduh gerak langkah senior angkatan 2 dan 3 muncul dari pintu masuk kelas. Dan, saya cemas, bibir ku pucat tak berdarah.
Sebelumnya saya telah di hadang oleh 'Singa betina' Kampus di depan gerbang dan mengancam akan mendatangi ke dalam kelas, mereka menepati janji, alasannya belum puas mem-plonco aku, anak gres yang telat masuk dan tidak ikut PPS.
Dengan bunyi menggelegar seakan membelah tiap sisi dinding ruangan, salah seorang senior cewek memanggil nama ku, " Anton Wijaya mana? Ayo ke depan kelas, perkenalkan identitas mu kepada kami" instruksinya tegas.
Kakiku gemetaran berdiri, beberapa pasang mata sahabat -teman ku menyorot penuh tanya, seperti mereka mengasihani.
"Ayo cepat ! Kamu jangan galau begitu" senior menghardik.
Aku ingat masa SLTA, tidak ada satu pun siswa yang berani berbuat menyerupai itu, alasannya mereka takut saya keroyok bersama sahabat ku preman pasar Sungai-Geringging. Namun, yang ku hadapi kini yaitu segerombolan cewek 'buas' yang tidak takut pada lelaki gagah yang sedang ia hadapi. Malahan saya yang 'keok' sekaligus tremor.
Di depan kelas, di hadapan teman-teman sekelas, saya di interogasi, "Kenapa kau tadi melawan kami di gerbang kampus, hah? Tuduhnya padaku. "Kamu pahlawan ya?" Dan bermacam-macam kalimat intimidasi tertuju padaku. Rasanya benar-benar aib di perlakukan menyerupai itu. Apalagi di depan cewek-cewek bagus satu lokal yang belum saya kenal. Harga diriku mulai mereka pijak-pijak, saya marah, tapi saya tidak berani melawan.
Senior-senior itu terus mengolah, dan berebut kata memarahi. Sehingga suasana menjadi bising, dan saya tidak paham apa yang mereka murka kan.
Rasanya Ingin saya hadiahi kepala mereka satu-persatu dengan 'ketupat bengkulu' biar bengkak, akan tetapi saya tak tega, mereka wanita, yang katanya lemah lembut, wajib di lindungi dari tindakan kekerasan.
Tak satu pun kulihat senior lelaki yang ikut menginterogasi. Kalau ada saya berani menantang satu lawan satu, dari pada di intimidasi di muka umum oleh segerombolan cewek.
Kondisi yang tidak menyenangkan itu, di rasakan oleh ponakanku, Maria. Dia tingkat 2 angkatan 2, satu tahun di atas ku, kami satu kampus dan beliau termasuk senior. Maria membela 'Apak' panggilan sehari-hari untukku darinya. Aku adik kandung Papa Maria. " Sudah tu kak, tadi kan hanya meminta Pak Anton untuk memperkenalkan diri, jangan di tambah yang lain-lain." Ucapnya meminta pada Kakak senior tingkat 3 angkatan 1.
Melihat Maria mulai tidak senang, senior angkatan 3 mulai memahami, dan saya pun di suruh memperkenalkan diri. Setelah memperkenalkan diri, mereka keluar dari kelasku dan saya merasa lega.
Berselang beberapa menit, dosen pun masuk kelas, dan menanyakan " Mengapa mahasiswi tingkat 3 masuk kesini?". Teman-teman ku menjawab serentak, " Mau memplonco mahasiswa gres buk.". Dosen murka mendengar hal tersebut. " Ini bukan jadwal PPS, tidak ada lagi plonco-ploncoan. Nanti kalau mereka tiba lagi, beri tahu Ibuk." Ungkap buk dosen. " Yaa buk" jawab kami serentak lagi.
Sejak itu, senior angkatan 2 dan 3 tidak pernah lagi memplonco, mungkin dosen memberitahukan pada mereka, bahwa tidak ada lagi acara plonco-ploncoan pada mahasiswa baru.
Setelah menjalani perkuliahan beberapa hari, saya mulai mencari tau nama-nama senior yang pernah menghardik dan memplonco, demikian juga dengan sahabat sekelas, kami sudah sanggup menyatu satu sama lain.
Berjalannya waktu, saya telah banyak mengenal senior angkatan 2 dan 3, meskipun ada umurnya di bawah dan se usiaku, saya tetap memanggilnya kakak. Sebab itu hukum mainnya di Kampus.
Kadang-kadang fakta berbalik, saya mulai kasar sehabis mengenal mereka. Aku tahu di Kampus mahasiswa pria sangat langka, dan saya mulai merayu mereka hingga tersipu malu. Sebab saya menyadari, saya perjaka mahal dan langka di Kampus. Angkatan 1 hanya ada 2 orang cowok, angkatan 2 mempunyai 4 orang mahasiswa cowok, sedangkan angkatan 3 sebanyak 5 orang lelaki ganteng. Makara dari keseluruhan 150 orang mahasiswa, hanya 11 orang lelaki gagah dan ganteng yang jadi selebritis kelas atas di Kampus, selebihnya wanita-wanita 'kesepian'.
Sejak saya mengenal dan berkawan dengan senior angkatan 2 dan 3 hingga hingga sekarang, saya tidak pernah menyimpan dendam, apalagi memusuhi mereka.
Meskipun telah di bentak dan di intimidasi saya ambil nilai positifnya, berkat perkenalan keras mereka, saya tidak canggung ketika praktek klinik Keperawatan di Rumah Sakit. Ternyata kehidupan lebih keras di Rumah Sakit dari pada di Kampus, kena murka dan intimidasi itu sudah biasa di alami mahasiswa di lahan praktek.
Malahan saya tersenyum kalau mengingat masa lalu, dan berterima kasih kepada senior yang telah meninggalkan 'sepotong' kenangan yang tidak akan pernah saya lupakan.(*5/Anton Wijaya) Sumber https://medianers.blogspot.com/
0 Response to "Pengalaman Di Plonco Dan Di Intimidasi Di Kampus"
Posting Komentar