Pada umumnya, pengembangan SIMRS menggunakan jasa pihak ketiga, atau melalui vendor, sehingga membutuhkan biaya perawatan yang luar biasa.
Selain biaya besar, SIMRS cendrung bermasalah sebab "human error" atau tidak adanya niat dari user yang benar-benar mumpuni menangani setiap kasus yang ditemui.
Akhirnya, billing system mandek, user mencicipi ribet, cendrung beranggapan menambah pekerjaan saja jikalau bekerja berbasis digital. Alhasil, digitalisasi rumah sakit menemui jalan buntu.
Pengalaman demikian pernah dialami oleh RSUD dr Adnaan WD Payakumbuh. Di tahun 2005 sampai awal 2007, administrasi pernah menerapkan billing system berbasis digital yang terkait antar unit.
Namun, kondisi demikian tidak berlangsung lama. Sosok pencetus billing system yang terkait antar unit, yaitu dr.Yanuar Hamid, Sp.PD, MARS pergi meninggalkan Kota Payakumbuh, dan promosi jabatan ke RSUP dr M Djamil Padang.
Dokter Yanuar Hamid pergi, kegiatan digitalisasi yang ia gagas seakan mati suri. Apa yang telah dibangun bersama jajarannya terlihat sulit berkembang, cendrung jalan ditempat.
Saat ini, diruang perawatan tidak lagi menggunakan komputer, kembali menggunakan kertas. Kecuali antara apotek dan Unit Pelayanan Administrasi Terpadu ( UPAT) masih terintegrasi dengan komputer.
Peluang dan Tantangan Penerapan SIMRS di Era BPJS
Di masa transisi layanan kesehatan remaja ini, sesuai kegiatan pemerintah bahwa masyarakat diperlukan menggunakan kartu asuransi kesehatan dari BPJS.
Sementara rumah sakit juga diperlukan menunjukkan layanan terbaik pada pengguna BPJS dengan tarif sesuai paket INA-CBG's (Indonesia Case Base Groups).
Pasca lahirnya kegiatan asuransi kesehatan rakyat ini, rumah sakit hadapi banyak sekali persoalan. Bahkan ada rumah sakit merugi, sebab biaya operasional yang mahal, sementara tarif pengobatan ditentukan oleh pihak BPJS.
Atas dasar itu pulalah, eksekutif utama dr.Efriza Naldi,Sp.OG mengirim dr.Yanti selaku eksekutif pelayanan dan penunjang serta 4 staf lainnya untuk mencar ilmu memahami cara membangun Sistim Informasi Manajemen Rumah Sakit berbasis digital secara mandiri, tanpa menggunakan vendor atau pihak ketiga, ke rumah sakit Pelni, Jakarta.
Sebab, dengan adanya teknologi dalam pengelolaan rumah sakit akan sanggup memudahkan dan efisiensi SDM , temasuk mengurangi kebocoran dan transparansi laporan keuangan, serta akurasi data, persedian obat-obatan, dan mempercepat layanan pada masyarakat.
Penggunaan teknologi diperlukan sanggup merinci secara detail data jasa pelayanan, sebagaimana yang telah diterapkan RSUD Parikesit Tenggarong, melalui aplikasi berjulukan e-jasmed.
Terkait penggunaan teknologi ini pernah dikatakan Albert Einstein, bahwa "komputer itu cepat, akurat, dan bodoh. Sementara insan itu lambat, tidak akurat tapi pintar. Jika keduanya dikombinasikan akan mengakibatkan kekuatan yang hebat."
Untuk membangun SIMRS secara berdikari bukanlah masalah gampang, semudah membalikkan meja kerja, tapi butuh kesabaran dan kepercayaan kepada SDM internal yang sudah ada.
Hal itu pernah diungkapkan dr.Fathema Djan Rachmat dikala pembukaan kegiatan Festival Kaizen 2017 di Jakarta , bahwa pertama kali ia diminta memimpin Rumah Sakit Pelni, rumah sakit tersebut nyaris kolaps, sebab besar pasak dari pada tiang, sebagai pengaruh dari kebijakan pemerintah melalui kegiatan BPJS.
Lantas ia berdiam diri? Ternyata tidak. Ia menggandakan gaya pemimpin jepang paska di bom, yakni hiroshima dan nagasaki, yang pertama kali ditanya yakni " berapa orang guru yang masih tersisa?" Artinya, Jepang membangun pendidikan.
Mungkin hal itu sebagai ide bagi dr.Fathema, yang gres saja memboyong dua penghargaan sekaligus untuk kategori TOP IT Implementation on BUMN Hospital 2017, dan kategori TOP IT Leadership 2017.
Pertama kali yang beliau lakukan adalah, " berapa orang programmer dan mahir IT bekerja di rumah sakit ini?" tanyanya pada bawahan.
Lalu ia memanggil semua anak IT yang bekerja di RS.Pelni dan menanyai di belahan apa mereka bekerja? Ada yang menjawab bekerja sebagai tukang ketik, dan sebagai tukang memperbaiki printer rusak.
Masa itu, sekitar tahun 2014, SDM IT, tidak melaksanakan sesuai proporsi dan latar belakang pendidikannya.
Melalui kewenangan eksekutif utama yang juga mahir bedah kardio vaskular itu, meminta sekitar 5 orang anak IT yang bekerja di Rumah Sakit Pelni memikirkan bagaimana cara menciptakan kegiatan dan software yang sanggup memudahkan petugas bekerja, yang tujuan utamanya untuk efisiensi dan layanan super cepat pada masyarakat.
Mendapat kepercayaan demikian,
Alhasil, sesudah teknologi diterapkan, pasien poliklinik hanya membutuhkan waktu tunggu untuk berobat, paling usang 15 menit saja.
Selanjutnya membangun e-askep untuk memudahkan kerja Perawat diruangan dan kegiatan e-prucurement untuk memudahkan kerja apoteker dan petugas apotek, bahkan SDM gudang obat yang biasanya 6 orang semenjak lahirnya aplikasi e-prucurement tenaga mereka tidak digunakan lagi, dipindahkan ke unit lain.
Seakan, semua yang dituliskan diatas seakan-akan terasa praktis dan gampang. Mungkin beranggapan demikian. Benar saja, bahwa membangun SIMRS Secara berdikari itu tidak gampang.
Sebagaimana yang dikatakan dr.Fathema dari kalangan internal, banyak mendapat penolakan, baik dari unit pelayanan ibarat dokter dan Perawat. Karena apa yang telah dikembangkan itu seakan mempersulit kerja mereka. Paling malas menginput data.
Namun, dr.Fathema yakinkan pada seluruh jajaran direksi dan staf rumah bahwa kehadiran teknologi sangat penting untuk kemajuan rumah sakit. Demikian jelasnya dikala menunjukkan bahan di Kaizen Festival 2017.
Hal utama sekali yang dibangun yakni kesadaran kepada seluruh petugas, bahwa dunia telah berubah, tanpa teknologi rumah sakit sanggup tertinggal. Lihat saja ojek saja sudah online. Harusnya layanan rumah sakit lebih dari itu.
Selain membangun kesadaran, juga mengedukasi petugas melalui divisi budaya. Bagi petugas yang tidak sanggup berubah, maka ada 2 pilihan, pertama mendapat punishment, pemotongan bonus atau jasa pelayanan, kemudian diumumkan dalam sebuah lembaga bahwa petugas berinisial "x" tidak mau menginput data . Semacam eksekusi sosial.
Dan, eksekusi terakhir, petugas bersangkutan akan direhabilitasi di klinik Budaya.
Dalam administrasi yang diterapkan dr.Fathema yang terlihat pandai dan visioner itu. Bahwa ia lebih cendrung menunjukkan reward biar SDM Rumah Sakit Pelni berbuat loyal, dari pada menunjukkan punishment.
Ia katakan, dokter mata yang praktek 7 hari dalam seminggu di rumah sakit Pelni sanggup mendapat jasa pelayanan luar biasa. Yang dua tahun sebelumnya rumah sakit Pelni hampir di diagnosa kolaps ternyata bangun dan sanggup maju dan mensejahterakan karyawan.
Bahkan, katanya jam 6 pagi, poliklinik mereka sudah mulai beroperasional, termasuk hari Sabtu dan Minggu. Semuanya dibangun dengan kesadaran.
Melirik apa yang telah dipraktekkan dr.Fathema di RS. Pelni, menginspirasi dr.Efriza Naldi,Sp.OG selaku eksekutif utama, untuk membangun RSUD dr Adnaan WD menjadi "Smart Hospital " kedepannya, sebagaimana yang telah digagas rumah sakit Pelni, Jakarta.
Sebagaimana kata Albert Einstein bahwa, "orang yang tak pernah melaksanakan kesalahan yakni orang yang tak pernah mencoba sesuatu yang baru." Semoga apa yang dicita-citakan eksekutif utama RSUD dr Adnaan WD, Payakumbuh, Sumbar mendapat derma dan akomodasi dalam penerapan SIMRS senantiasa.(Anton Wijaya)
Sumber https://medianers.blogspot.com/
0 Response to "Membangun Simrs Secara Berdikari Di Rsud Dr Adnaan Wd, Demi Memudahkan Layanan Pada Masyarakat"
Posting Komentar