Akibat Vaksin Palsu 14 Rumah Sakit Terhukum Meskipun Belum Terbukti Bersalah

Kasus vaksin palsu terus menggelinding bagaikan bola salju, bahkan beberapa orang penyebar vaksin palsu telah dijadikan tersangka, dan pihak Kepolisian bersama BPOM RI terus mengembangkan penyelidikan dengan hasil diduga sebanyak 37 rumah sakit dan klinik yang ada di sembilan propinsi terindikasi memakai vaksin palsu.

Desakan Wakil Ketua Komisi IX Ermalena kepada Mentri Kesehatan biar mengumumkan ke publik semua rumah sakit yang memakai vaksin palsu terjawab sudah oleh daftar rilis 14 Rumah Sakit yang diumumkan Kementrian kesehatan melalui akun resmi twitter @KemenkesRI.

Dari 14 nama rumah sakit yang dirilis sebagai pengguna vaksin palsu, sebanyak 13 rumah sakit mendapat vaksin tersebut melalui sales perusahaan resmi yakni CV. Azka Medika dengan cara sales berjulukan Juanda memperlihatkan kepada pihak pengadaan barang rumah sakit melalui email dan ada juga melalui proposal, kemudian eksekutif menyetujui untuk pembelian. Dari 14 rumah sakit yang membeli vaksin palsu, hanya satu rumah sakit melaksanakan pembelian melalui calo, tanpa sales resmi dari CV. Azka Medika.

Di lihat dari jenis transaksi ini, meskipun investigasi oleh pihak Kepolisian masih berlangsung, rasanya tidak etis mengumumkan daftar nama Rumah Sakit. Karena rumah sakit tersebut belum terbukti mempunyai niat menyalurkan vaksin palsu, bahkan Rumah sakit yang dimaksud sanggup jadi sebagai korban penipuan vaksin palsu dari transaksi atau pembelian ke perusahaan yang berakta notaris, yakni CV. Azka Medika.

Setelah daftar nama 14 Rumah Sakit yang dirilis Kemenkes, tentunya akan membawa dampak sosial negatif meluas bagi pihak rumah sakit. Karena telah di cap sebagai pengedar vaksin palsu, padahal belum terbukti rumah sakit tersebut mempunyai motivasi untuk mengatakan vaksin palsu ke pasien.

Di rumah sakit tidak ada namanya tim khusus tukang cek

obat-obatan atau alat-alat kesehatan palsu, jadi baik direktur, penggalan pengadaan barang maupun dokter, perawat, bidan dan petugas kesehatan lainnya hanya sebagai user menggunakan barang, dan obat-obatan ke pasien hanya sesuai spek, indikasi dan petunjuk. Untuk membedakan produk orisinil atau palsu tidak di ajarkan. Sebagaimana pemberitaan bahwa vaksin palsu ini telah beredar semenjak tahun 2003. Artinya petugas kesehatan sendiri telah terkecoh dan jadi korban oleh segelintir orang atau perusahaan.

Jelas, 14 rumah sakit yang diumumkan ini akan mengalami kerugian teramat besar. Mereka telah mendapat hukuman sosial sebelum terbukti oleh pengadilan bersalah. Idealnya Kemenkes maupun wakil ketua komisi IX yang mendesak biar diumumkan tidak perlu bertindak demikian. Cukup merilis inisial.

Seandainya terbukti bersalah, diantara 14 atau 37 rumah sakit dan klinik mempunyai motivasi berhubungan dengan perusahaan penyalur vaksin palsu, bekerjsama sebelum membeli oknum pembeli telah mengetahui bahwa yang akan dibeli yaitu vaksin palsu maka penulis setuju abdnegara penegak aturan menghukum seberat-beratnya orang atau oknum yang membeli barang tersebut.

Tapi, bilamana rumah sakit tersebut yaitu korban, maka Kemenkes dan pihak yang berkontribusi membuatkan daftar nama rumah sakit mempunyai kewajiban pula untuk membersihkan nama rumah sakit sebagai korban dari penjualan vaksin palsu.

Terakhir, ada tentang YLKI menuntut Kemenkes untuk membekukan izin rumah sakit apa bila benar terbukti bersalah, maka rumah sakit yang dimaksud dibekukan izin operasionalnya. Penulis berpendapat, kalau pemilik rumah sakit swasta yang terindikasi menyalurkan vaksin palsu, maka penulis sepakat, tapi kalau hanya segelintir oknum yang berbuat, rasanya tidak perlu menutup izin operasional rumah sakit alasannya yaitu akan banyak tenaga kesehatan yang akan kehilangan pekerjaan yang karenanya menambah beban sosial, tidak pantas gara-gara oknum yang lain kena imbasnya.

Jika ada tikus dalam lumbung padi, cukup tikus saja yang di bunuh, tidak perlu memperabukan lumbungnya. Sebab, sesudah lumbung jadi debu apa lagi yang akan dimakan? Demikian pula, bilamana oknum bersalah, maka aturan seberat-beratnya, bila rumah sakit ditutup kemana lagi warga sekitar berobat? Dan mau dikemanakan tenaga kesehatan yang telah menggantungkan kehidupannya di rumah sakit tersebut.(Anton Wijaya).
Sumber https://medianers.blogspot.com/