Pada suatu hari, ditengah malam buta, sekitar tahun 2012, ( persisnya saya tidak ingat lagi) telepon ruangan Instalasi Bedah Sentral (IBS) terus berdering.
Ketika saya angkat gagang, petugas Instalasi Gawat Darurat (IGD) memberitahukan bahwa, pasien hamil anak ke -4 , mengalami perdarahan hebat, dengan diagnosa Plasenta Previa, dikirim kebelakang (baca : IBS) untuk dilakukan tindakan operasi segera.
Berselang beberapa menit, seorang bapak paruh baya tergopoh-gopoh sembari memangku istrinya bergelimang darah yang mengenai celana dan kaki bapak tersebut. Ia mendatangi ruangan IBS, didampingi oleh petugas IGD.
Sontak kami, (saya dan petugas IBS) terkejut, biasanya pasien diantar dari IGD memakai brankar. Namun, malam ini ada situasi berbeda.
Belakangan diketahui, bapak itu berprofesi sebagai Polisi Lalu Lintas di salah satu Kabupaten di Sumatera Barat. Ia tidak kuasa membiarkan istrinya dibawa memakai brankar, tapi ia pangku dan larikan dipenuhi rasa cemas, supaya cepat hingga di Kamar Operasi, Instalasi Bedah Sentral, Rumah Sakit milik daerah.
Berharap Tindakan Pembedahan Berjalan Lancar
Jelang masuk kamar operasi, Pak Polisi itu menitipkan pesan, " mohon lakukan yang terbaik buat istri saya pak," pintanya kepada petugas. Raut wajahnya terlihat sangat cemas akan keselamatan istrinya.
Ia pun telah menandatangani persetujuan tindakan pembedahan (informed content), dan siap mendapatkan segala resiko atau imbas dari tindakan pembedahan.
Pastinya, demi keselamatan istri tercinta dan kehadiran anak ke empat, pak Polisi tidak berpikir panjang untuk memperlihatkan persetujuan sebagaimana Standar Prosedur Operasional (SPO) yang berlaku di Rumah Sakit tersebut.
Peralatan pembedahan dan tim operasi, menyerupai dua orang Perawat , satu orang Penata Anestesi dan satu dokter andal Kebidanan segera melaksanakan pembedahan. Sedangkan di luar Pak Polisi setia menunggu dan harap-harap cemas.
Berjalan kurang lebih satu jam, tindakan pembedahan berjalan lancar, anak ke empat yang lahir dalam kondisi darurat itu pun keluar melalui dinding perut dengan selamat.
Sambil bekerja, salah seorang sobat bercerita, bahwa ia kena tilang tadi siang di Kota, lantaran tidak mengenakan helm. Ia menyangka melewati jalur 'mancik' kondusif meski tak memakai kelengkapan berkendara. Tapi, kebetulan sial, ia pun tertangkap dan ditilang.
Dari dongeng sobat itu, ditanggapi oleh pasien yang sedang siap-siap untuk dipindahkan ke ruang recovery, " siapa nama Polisi yang menilang pak?" kira-kira demikian tanggapannya.
"Saya tidak ingat lagi namanya buk," jawab temannya saya.
" Oh ! Saya pikir suami saya. Yang tadi mengantar saya kesini. Suami saya juga Polisi Lalu lintas," ulas ibu yang gres saja sanggup anak ke-4 melalui proses operasi, yang mana ia sanggup ikut pula bercerita dengan petugas, lantaran biusnya hanya separuh tubuh (Spinal Anestesi), dari pusar hingga ujung kaki saja yang 'mati rasa'.
Setelah pasien dipindahkan kerecovery room, saya dan 2 orang sobat lainnya menciptakan laporan diruangan kerja Perawat. Lalu, pak polisi, suami dari
Setelah dijelaskan bahwa kondisi istri dan anaknya dalam keadaan kondusif dan sedang dalam pemulihan, dan planning beberapa menit lagi akan dipindahkan ke ruang rawatan. Mendapat kabar itu, pak polisi terlihat bahagia sekali, wajahnya yang sebelumnya terlihat tegang, berubah jadi senyuman.
Lantas ia menyatakan bahwa, belum mendapat tempat perawatan, lantaran ketika masuk belum melaksanakan pendaftaran dibagian administrasi. Ia berencana mau booking kelas satu. Seraya menanyakan berapa biayanya pada kami, mengingat kelahiran anak ke-4 menjadi tanggungan pribadi, tidak lagi dibayarkan oleh Askes (sekarang BPJS).
Mendengar itu, sobat saya yang paling senior diantara kami bertiga menyarankan, tidak usah dirawat di kelas satu, demi menghemat biaya, alasannya ialah biaya operasi sesuai peraturan tempat tarifnya juga mengikuti menurut kelas perawatan. Jika dirawat di kelas 1 harganya tentu lebih besar dibanding kelas 2 dan begitu seterusnya.
Sedangkan jikalau dirawat di kelas 3, kemungkinan biaya keseluruhan mungkin sanggup berhemat lebih dari 30 persen, dan uang yang seharusnya dipakai untuk kelas satu itu, sisanya sanggup dipakai untuk biaya Akikah anak. Kira-kira demikian saran sobat saya.
Sang bapak mengiyakan, dia seakan mendengar saran dengan seksama.
Teman saya kembali menjelaskan, "jika dirawat di kelas 3 pastinya terdapat kekurangan, menyerupai ruangan terbatas lantaran diisi oleh pasien lain yang bergabung dalam satu kamar yang hanya dipisahkan oleh tempat tidur. Sedangkan di kelas 1 tentunya lebih Istimewa dan akomodasi lebih bagus. Namun pelayanan atau tindakan tidak dibedakan, kalau bapak sanggup bersabar, paling 3 hari sudah boleh pulang."
Pak Polisi pun mengangguk, sambil pamit pergi mendaftarkan ruang perawatan untuk istrinya.
Pak Polisi Beri Petugas Kamar Operasi Uang Seratus Ribu Rupiah
Berselang setengah jam, pak polisi kembali menemui kami. Ia menyatakan bahwa menentukan kelas 3 untuk tempat perawatan istrinya. Lalu mengucapkan, " terima kasih banyak telah menolong istri dan bayi saya," ucapnya sembari menyalami kami dan meletakan uang seratus ribu rupiah di atas meja.
Ucapan terima kasihnya kami jawab, " sama-sama pak. Mudah-mudahan istrinya cepat sehat dan bayinya menjadi anak yang sholehah senantiasa," yang diwakili sobat saya paling senior.
Kemudian, uang yang ditaruh di atas meja diambil oleh sobat saya dan dikembalikan kepada pak polisi, dibarengi ucapan, " terima kasih pak atas pemberiannya, kami tulus membantu, ini ialah kiprah kami, dan sudah digaji tiap bulan untuk melaksanakan pekerjaan ini," demikian tolak sobat saya.
Pak Polisi pun merespon, bahwa ia juga sangat tulus memberi uang itu, hanya untuk membeli cemilan dan minuman. "Saya tidak tau lagi caranya mengungkapkan rasa terima kasih, ambillah uang itu pak, sekedar buat beli kopi dan gorengan. Terimalah, mohon jangan lihat nilainya, tapi saya berharap bapak menerimanya," pinta pak polisi itu.
Kondisi ini gres pertama kali saya temui, dikasih uang oleh keluarga pasien. Namun, dulu sewaktu mahasiswa ketika praktek di rumah sakit pendidikan, pernah diberi buah-buahan dan kue, tapi saya menolak dengan halus. Keluarga pasien yang merasa terbantu dan mendapat pelayanan sesuai standar mereka terkadang 'ngotot' meninggalkan masakan di meja kerja,jelang mereka boleh pulang.
Dalam pelajaran Etika Keperawatan mendapatkan sumbangan atau tips dari pasien dan keluarga tidak dibolehkan kepada Perawat, namun menolak sumbangan pasien dan keluarga juga terasa tabu, menimbang perasaan si pemberi. Sehingga ini menjadi dilema.
Akhirnya, dengan berat hati kami mendapatkan uang sumbangan pak polisi, lantaran ia memohon uang itu dipakai untuk makan malam.
Tiga hari berlalu, istri dan bayi pak polisi telah dibolehkan pulang. Sekitar satu bulan berikutnya saya mendapat telpon dari tim kamar operasi, bahwa pak polisi memberi kami gulai kambing melalui orang suruhannya. Gulai kambing tersebut merupakan Akikah anaknya yang lahir di kamar operasi. (AntonWijaya)
Sumber https://medianers.blogspot.com/
0 Response to "Setelah Istrinya Dioperasi, Pak Polisi Beri Petugas Uang Seratus Ribu Dan Gulai Kambing"
Posting Komentar