Kondom Gratiskah Solusi Cerdas Penanggulangan Hiv/Aids ?

Pertumbuhan penderita HIV/AIDS sangat mengkhawatirkan dunia, termasuk di Indonesia. Data niscaya jumlah penderita HIV/ AIDS di Indonesia membingungkan, menurut data globalhealthfacts.org penderita HIV/AIDS di Indonesia 310,000 jiwa (2009), sementara data yang dikeluarkan Kemenkes secara kumulatif bahwa HIV/ AIDS di Indonesia semenjak tahun 1978 hingga dengan 30 September 2009 sebanyak 18.442 kasus.


Perbedaan data diatas tidak duduk masalah bagi penulis, terlepas dari benar atau salah. Namun yang menjadi kegalauan, bagaimana mencegah HIV ini supaya pertumbuhanya sanggup ditekan?

Langkah pencegahan yang diambil Menkes Nafsiah Mboi perihal kondom gratis untuk Indonesia, menuai kritikan "pedas" dari banyak sekali kalangan, lantaran jadwal tersebut tidak cocok untuk Indonesia yang lebih banyak didominasi muslim, sewaktu-waktu jadwal kondom gratis bisa berakibat jelek dikalangan remaja.

Kritikan tersebut, dibantah oleh Menkes dalam rekamaan yang diunggah di youtube, bahwa tujuan dari jadwal kondom gratis tersebut bukan untuk remaja, tapi untuk kalangan beresiko, ibarat tempat prostitusi dan tempat-tempat lain yang dianggap sanggup menularkan HIV.

Jika jadwal kondom gratis di lancarkan oleh Kemenkes, disetujui dewan perwakilan rakyat dan didukung oleh Rakyat Indonesia, maka penulis mewaspadai penularan HIV semakin berkurang, lantaran penularan HIV tidak saja melalui korelasi seks. Tapi, bisa melalui jarum suntik (pecandu narkoba), pisau cukur atau tertular melalui transfusi darah. Dan yang lebih penting, jadwal kondom gratis bisa  tidak sempurna sasaran pendistribusianya, sehingga memicu seks bebas yang akibatnya kontraproduktif dengan tujuan awal untuk menekan laju penularan benjol HIV.

Deteksi dini penderita terinfeksi HIV
                         
Program cerdas yang perlu dikeluarkan Kemenkes yaitu bagaimana cara mendeteksi dini orang yang terinfeksi HIV, sebab Orang yang terinfeksi HIV,  dapat disembuhkan oleh obat antiretrovirus (ARV), asalkan penderita tersebut mau mengkonsumsi ARV secara teratur, tanpa terputus. Seandainya HIV sudah masuk pada fase AIDS maka sulit ditanggulangi. 

Tes HIV ini sangat penting, sebagaimana yang penulis kutip dari Kompas, bahwa  sekitar 200.000 orang lagi di Indonesia diperkirakan terinfeksi HIV tetapi belum terdiagnosis (2012). Jika angka 200 ribu itu tidak terdeteksi, merupakan langkah jelek dalam menanggulangi HIV/AIDS, lantaran penderita tersebut berpotensi besar menularkan pada orang lain.

Pemerintah bergotong-royong tidak diam, klinik VCT  ( Voluntary Counseling and Testing ) telah disebar untuk mendeteksi penderita HIV diberbagai daerah. Termasuk dikampung penulis sendiri di Sumatera Barat. 

Khusus di Sumatera Barat, tampaknya penderita/ masyarakat aib memeriksakan diri pada klinik VCT, hal tersebut terungkap pada pertengahan tahun 2010 yang lalu. Ketika itu ada sebuah masalah yang menjadi polemik tentang meninggalnya lelaki homoseksual yang positif pengidap HIV/AIDS, sebelum meninggal di Rumah Sakit, dia mengatakan telah banyak melaksanakan korelasi seks dengan warga setempat (penulis tidak bisa menyebutkan nama kampung, kecamatan dan kabupaten pastinya, lantaran sensitif). 

Berita perihal meninggalnya penderita HIV/AIDS tersebut eksklusif jadi headline news di koran harian lokal, hampir tiap hari selama 1 ahad isi informasi halaman depan dihebohkan dengan meninggalnya seorang pengidap HIV/AIDS positif.

Santernya informasi diharian lokal menciptakan Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno  memerintahkan kepada Dinas Kesehatan provinsi, yang dipimpin oleh Rosnini Savitri untuk melaksanakan tindakan nyata, supaya masyarakat tenang. Dinkes provinsi eksklusif membentuk Tim, berhubungan dengan Klinik VCT RSUP M.Djamil Padang dan LSM Lentera Minang Kabau untuk melaksanakan investigasi eksklusif kelokasi. 


Sepanjang penulis mengikuti informasi yang tidak terdokumentasi dibuku, yang hanya terekam dimemori otak , benar-benar terkejut, ternyata masyarakat setempat tidak mendapatkan kedatangan Tim kesehatan dinkes provinsi, Posko mereka dilempar dengan kerikil oleh penduduk setempat, warga tersebut mengisyaratkan untuk kembali ke Padang, jangan berada didaerah resiko tinggi
tersebut.

Adanya penolakan dan pelemparan kerikil menciptakan Tim Kesehatan Dinkes provinsi menjadi ciut, kepolisian pun menjamin keamanam supaya investigasi dilanjutkan, namun tidak ada lagi kabar, entah apa kelanjutanya, hingga masalah tersebut  dibahas di DPRD dan tidak ada lagi kabar yang diberitakan oleh media massa, juga tidak penulis dapatkan informasinya di arsip portal online.

Dari dongeng diatas, sanggup disimpulkan sangat sulitnya mendapatkan data pengidap HIV/AIDS, lantaran penyakit tersebut masih tabu dibeberapa daerah, hal tersebut menciptakan jadwal penanggulangan HIV/AIDS menjadi terhambat.


Pemeriksaan efisien yang diperlukan masyarakat
                            
Kemenkes harus cerdas menyikapi hambatan yang dihadapi dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, barangkali butuh langkah efisien sebagaimana rencana besar yang akan dilakukan pemerintah Amerika Serikat (AS) , bahwa di Amerika mulai Oktober 2012 mendatang akan dipasarkan alat tes deteksi dini  HIV yang berjulukan OraQuik. Alat tes tersebut dapat dipakai oleh masyarakat awam dirumah, lantaran penggunaanya sangat mudah, yaitu dengan memasukan alat tersebut kedalam mulut, usapkan air liur, kemudian tarik keluar dan biarkan 20-40 menit, maka OraQuick bisa mendeteksi seseorang terinfeksi atau tidak. 

Berita terkait perihal alat pendeteksi HIV/AIDS  tersebut dengan judul " Badan Pangan dan Obat AS Setujui Tes HIV di Rumah ", penulis dapatkan dari  VOA. Inti dari artikel yang dimaksud, bahwa persetujuan  Badan Pangan dan Obat-obatan Amerika (FDA) untuk memasarkan secara luas pada masyarakat, mengingat 1,2 juta warga Amerika Serikat terinfeksi HIV. Pemerintah Amerika menyatakan 20 persen dari penderita tersebut tidak sadar bahwa dirinya terinfeksi virus kutukan tersebut, sehingga OraQuick dianggap alat cerdas untuk mencegahnya. 

Jika dikaitkan dengan situasi yang ada di Indonesia, terutama di provinsi tempat saya berdomisili, tentu alat pemeriksaan tersebut sangat dibutuhkan, lantaran bisa menjaga privasi si penderita.

Seandainya benar apa yang telah dituturkan Uchok Sky Khadafi pada Tribun News, Senin (25/6/2012). bahwa dana dari  APBN (2012), sejumlah  25,2 miliar rupiah untuk jadwal pengadaan kondom telah rampung, hanya tinggal kampanye dan pembagian kondom gratis untuk para remaja, maka penulis secara pribadi sangat menyayangkan tindakan tersebut. Jika masih bisa bernegosiasi dengan pihak pemenang tender, sebaiknya dialih fungsikan untuk memproduksi / menyediakan alat deteksi dini  HIV,  tentunya menurut persetujuan dewan perwakilan rakyat dan Undang-undang yang berlaku.

Penulis yakin, kalau penderita telah teridentifikasi, mereka akan mempunyai kesadaran, kemauan tanpa paksaan untuk mengunjungi sarana kesehatan ibarat klinik VCT, kalau telah berada di klinik VCT penderita akan mendapatkan bimbingan dan pengobatan sesuai program. 


Hemat penulis, sesudah alat investigasi itu ada, yang perlu dikerjakan yaitu mekanisme pendistribusian secara gratis kemasyarakat yang dianggap beresiko tinggi terserang HIV, bukan membagi-bagikan kondom secara gratis. 

Referensi:
http://www.globalhealthfacts.org/data/topic/map.aspx?ind=1
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/449-jumlah-kumulatif-penderita-aids-di-indonesia-18442-kasus.html
http://ilmukeperawatkita.blogspot.com//search?q=
http://id.berita.yahoo.com/anggaran-pengadaan-kondom-mencapai-rp-25-2-miliar-022406544.html





Sumber https://medianers.blogspot.com/

0 Response to "Kondom Gratiskah Solusi Cerdas Penanggulangan Hiv/Aids ?"

Posting Komentar