Karena keluhan tidak kunjung membaik, alhasil pasien memutuskan kembali tiba ke RS keesokan harinya, kurang lebih 15 jam sehabis timbulnya nyeri. Ternyata sehabis dilakukan investigasi rekam jantung / elektrokardiografi (EKG) ketahuanlah bahwa sang bapak mengalami serangan jantung dengan sumbatan total arteri koroner. Dari gambaran EKG dan hasil enzim jantung, jelaslah bahwa kerusakan sudah terjadi, sehingga tindakan untuk berupaya menyelamatkan otot jantung sudah terlambat untuk dilakukan. Pasien saya tangani konservatif dan alhamdullilah keadaannya membaik.
Saya langsung sudah beberapakali menemukan masalah serangan jantung dengan keluhan nyeri ulu hati yang gagal terdiagnosis. Tapi umumnya hal itu terjadi alasannya ialah mereka tiba ke klinik atau puskemas tanpa akomodasi EKG sehingga keluhannya disangka tanda-tanda maag. Kali ini kasusnya gagal terdiagnosis ketika pasien telah tiba ke RS referensi tingkat 3 yang kita tahu mempunyai akomodasi kesehatan serba lengkap sehingga saya tertarik untuk menggali lebih dalam dimana permasalahannya. Menurut saya Ini penting alasannya ialah yang akan tiba berobat ke PPK3 / RS referensi ini bisa jadi kita, bisa jadi keluarga kita, sehingga jikalau memang ada masalah, kita seharusnya terdorong untuk memperbaikinya.
Untuk menjawab kenapa hal ini bisa terjadi saya tanyakan beberapa hal ke pasien.
- Berapa dokter yang menangani bapak? Jawabnya: Hanya satu saja dok.
- Keluhan bapak ketika itu apa? Jawabnya: Hanya nyeri ulu hati saja dok. (Saya sudah tekan perutnya, ternyata memang iya nyeri ketika ditekan)
- Tidak ada nyeri dada, sesak, mual, muntah atau keringat dingin? Jawabnya: Ada keluhan keringat hirau taacuh dan muntah.
- Apa disana dilakukan investigasi EKG? Jawabnya: Tidak dok, dokternya hanya menanyakan beberapa hal, lantas meresepkan obat.
- Apa ketika itu suasananya ramai? Jawabnya: Wah iya dok, menyerupai pasar malam. Saya hingga marah-marah alasannya ialah merasa diabaikan.
- Apa dokternya tampak capai / kelelahan? Jawabnya: Iya dok, tidak usang sehabis menyidik saya dia kembali duduk ditempat kerjanya dan tertidur. (Pasien tampak murka ketika bercerita wacana pengalaman buruknya mampir ke RS PPK3 semalam)
Ada beberapa hal yang saya rasa patut dibahas.
- Siapa dokter menangani, apa sudah cukup berpengalaman untuk bisa memilih ini masalah gawat darurat tanpa investigasi lanjutan?
- Saat itu RS nya penuh menyerupai pasar malam, apa memang PPK3 selalu penuh, jikalau iya kenapa?
- Mengapa pelayanan di PPK3 seringkali dianggap buruk?
Pertanyaan pertama, Siapa dokter yang menangani?
Dari pertanyaan saya, diketahui kalau yang menangani hanya 1 orang dokter. Artinya pasien tidak dikonsulkan ke kepingan lain alasannya ialah dianggap bukan masalah gawat darurat. Bisa disimpulkan yang pertama menangani ketika itu ialah dokter triase. Tugas jaga triase ialah memilah mana masalah gawat darurat yang butuh penanganan segera dan masalah mana yang bukan. Setelah diperiksa oleh dokter triase, pasien akan dikonsulkan sesuai dugaan penyakitnya, entah itu ke kepingan anak, penyakit dalam, bedah, syaraf, dan lain sebagainya. Dokter triase di RS PPK3 yang saya maksud, biasanya ialah dokter residen tahun pertama yang diminta/diwajibkan untuk jaga triase di Instalasi Gawat Darurat. Dokter Residen ialah dokter yang sedang bekerja sambil berguru menempuh pendidikan acara profesi dokter seorang mahir di RS PPK3.
Tahun pertama residensi biasanya ialah tahun terberat seorang residen. Selain mereka harus penyesuaian bekerja di RS yang baru, mereka juga harus berguru banyak di acara studi yang mereka dalami, kiprah jaga mereka juga biasanya paling banyak. Dalam sebulan, mereka bisa kebagian jaga hingga 6-9x. Jam jaga dokter Residen bervariasi tergantung spesialisasi yang mereka ambil, namun umumnya berkisar antara 30 s/d 36 jam. Tidur ketika jaga mungkin saja, tapi biasanya hanya beberapa jam dan seringkali terpotong. Kurangnya tidur akhir jam kerja berlebih telah usang menjadi kekhawatiran dalam dunia kedokteran. Saat ini jam kerja para tenaga kesehatan pada umumnya jauh lebih panjang dibandingkan jam kerja yang sanggup ditolerir untuk mereka yang bekerja di bidang transportasi (supir/pilot). Bagi orang awam, kerja lebih dari 100 bahkan 120 jam dalam seminggu merupakan sesuatu yang mengerikan. Tapi hal ini merupakan hal yang biasa bagi mereka.
Pertanyaan yang kemudian timbul, apakah ini kondusif untuk mereka? Apakah ini kondusif untuk pasien?
Kondisi menyerupai ini tidak jauh berbeda dengan di negara maju 30 tahun yang lalu, hingga pada alhasil seorang perempuan muda berjulukan Libby Zion meninggal alasannya ialah salah derma obat ditangan dokter residen ketika dia bekerja nonstop selama 36 jam. Penyelidikan kematiannya mengakibatkan lahirnya peraturan ditahun 1987 yang menyebutkan dokter residen di New York dihentikan bekerja lebih dari 80 jam/minggu dan boleh tidak lebih dari 24 jam nonstop. Kini sudah banyak penelitian yang menemukan korelasi antara kelelahan dan menurunnya kemampuan klinis dokter. Penelitian lainnya menemukan bahwa dokter Residen cenderung mengalami kecelakaan bermotor yang jauh lebih sering dibandingkan warga biasa. Sehingga alhasil dibanyak negara lahir undang-undang yang mengatur jam kerja dokter residen. Di Amerika misalnya, seorang dokter residen dihentikan kerja lebih dari 80 jam/seminggu, dihentikan bekerja 24 jam nonstop tanpa istirahat, dihentikan jaga berturut-turut dalam periode 3 hari, dsb. Penelitian Landrigan dkk yang diterbitkan tahun 2004 menandakan bahwa pengurangan jam kerja yang timbul akhir hukum gres tersebut sanggup mengurangi tingkat kesalahan yang dilakukan para dokter.
Pengalaman yang masih kurang (mereka merupakan residen tahun pertama) disertai kelelahan tentunya bukan kombinasi yang baik. Lebih parahnya lagi jaga triase ialah jaga lintas bagian, tidak dipimpin oleh salah satu kepingan tertentu sehingga mereka jaga mudah tanpa supervisi dokter senior. Akibatnya masalah menyerupai yang menimpa pasien saya ini bisa jadi sering terjadi.
Pertanyaan kedua, Apa iya PPK3 selalu penuh? Mengapa?
Saat ini saya perhatikan iya. Dulu jumlah masalah yang ditangani di PPK3 tidak sebanyak sekarang. Pasien masih mungkin kebagian ruang rawat. Sekarang kalau tidak “dirujuk paksa”
Ambil pola masalah penyebab tamat hidup terbanyak ketika ini, serangan jantung atau infark miokard, di RS kelas A atau PPK3 tarifnya sekitar 6,5 s/d 16,8 juta tergantung tingkat keparahannya. Di RS kelas B, tarifnya turun menjadi 5 s/d 11,4 juta. Sementara di RS kelas C, tarifnya turun menjadi 4 s/d 6,76 juta dan di RS kelas D, tarifnya turun menjadi 2,9 s/d 6,73 juta. Hal yang sama terjadi pula untuk banyak masalah lainnya. Ambil masalah usus buntu, di RS kelas A tarifnya 4,8 s/d 9 juta sementara di RS kelas D tarifnya hanya 2,2 /sd 4,1 juta. Tarif PPK3 (RS Kelas A / RS nasional) dan PPK2 (RS Kelas B/C/D) bisa berbeda hingga ½-nya. Bisa dilihat sendiri di Permenkes 69 tahun 2014.
Akibat-nya apa?
Hal yang paling aktual tentunya ialah perbedaan terapi yang diberikan. Untuk masalah serangan jantung / infark miokard misalnya, jikalau ditangani di PPK2 (kelas RS B/C/D) obat peluruh gumpalan darah / fibrinolitik yang seharusnya diberikan hampir tidak pernah diberikan, alasannya sederhana, tarifnya tidak mencukupi. Selain itu kemungkinan besar pasiennya tidak akan dirawat di ruang intensif, alasannya tarifnya tidak mencukupi.
Kemungkinan lainnya apa?
Adanya fraud atau pembatasan tindakan. Misal untuk masalah bedah usus buntu tadi, apa cukup operasi usus buntu dikerjakan hanya dengan 2,2 juta rupiah? Tentunya tidak, kecuali dokternya “terpaksa” melaksanakan fraud / menipu BPJS dengan menuliskan diagnosa perhiasan (upcoding) sehingga sakitnya seakan tambah parah dan tarifnya naik menjadi 4,1 juta. Alternatif yang kedua, pasien diminta nambah. Alternatif yang ketiga, dan ini merupakan pilihan banyak dokter ketika ini, membatasi tindakan dan merujuk pasiennya ke PPK3.
Akibatnya pasien di PPK3 semakin membludak, ruangannya selalu penuh, dan dokternya selalu kewalahan. Bisa dibayangkan bila seorang dokter ketika tugasnya harus menangani belasan bahkan puluhan pasien dalam semalam, dalam kondisi kelelahan, tentu kerjanya tidak akan benar lagi.
Mengapa pelayanan di PPK3 seringkali dianggap buruk?
Menurut saya ini menarik untuk dicermati di negara maju RS pendidikan kawasan dokter residen bekerja pada umumnya ialah RS top dengan kualitas layanan yang memuaskan. Tapi di Indonesia RS pendidikan umumnya ialah RS dengan gambaran pelayanan yang buruk.
Apa yang salah?
Faktor kelelahan dan beban berlebih menyerupai diatas tentunya menjadi faktor yang harus dipikirkan. Ketika anda mempunyai banyak pasien yang harus dikelola dan laporan yang harus beres diketik dipagi hari, anda tidak punya cukup waktu untuk bisa tersenyum. Yang ada ialah rasa geram dan putus asa alasannya ialah pasien terus bertambah ketika anda berharap bisa tidur sebentar saja.
Itulah perasaan yang saya rasakan dulu ketika pasien terus menerus tiba ketika tubuh sudah terlalu capai untuk digerakkan dan mata terlalu berat untuk tetap dibuka. Ternyata selama 30 tahun terakhir telah banyak yang menemukan suasana hati diperburuk oleh kelelahan. Orang yang lelah cenderung lebih gampang cemas, depresi, marah, dan salah mengambil keputusan.
Inilah yang saya rasa menjadi balasan terbaik mengapa layanan di PPK3 seringkali dianggap buruk
.Faktor lainnya yang berdasarkan saya penting untuk dibahas ialah faktor sumber daya insan atau dokter residen dan perawat yang melayani di PPK3. Apakah mereka terdorong untuk memperlihatkan pelayanan yang baik? Layanan kesehatan intinya ialah service industry atau industri yang mengedepankan pelayanan. Agar kualitas layanan yang diberikan memuaskan, pekerja yang memperlihatkan layanan haruslah puas dengan apa yang dikerjakannya dan upah yang diterimanya. Sudah banyak penelitian yang menemukan kualitas layanan atau performa kerja berbanding lurus dengan upah yang diterima. Seorang bilyuner kenamaan Inggris Sir Richard Bronson berkata “The way you treat your employees is the way they will treat your customers” yang artinya cara anda memperlakukan karyawanmu ialah cara mereka memperlakukan pelangganmu. Disinilah berdasarkan saya letak perbedaan yang menjadikan RS pendidikan di negara maju menjadi RS Top di negaranya sementara di Indonesia, menjadi RS yang jelek kualitas layananannya.
Mereka memperlakukan dokternya secara pantas dan manusiawi sementara kita tidak, kenapa tidak? Karena disini dokter residen tidak dibatasi jam kerjanya, tidak dibayar, dan tidak mendapatkan jaminan kesehatan. Kontras berbeda dengan apa yang terjadi, jangan jauh-jauh di malaysia negara tetangga kita.
Seorang dokter dari Singapura pernah berkata “In singapore, you work you get paid. In Indonesia, you work, you must pay.” Omongan dia menyentil sistem pendidikan seorang mahir di Indonesia yang “lain sendiri” dan mengharuskan dokter residen untuk bayar uang bangunan, sumbangan sukarela, dan SPP untuk menempuh pendidikan spesialis.
Sementara di negara lainnya di dunia dokter residen justru dibayar untuk pekerjaan yang dilakukannya. Aturan ke arah sana di Indonesia bergotong-royong sudah ada. UU pendidikan kedokteran tahun 2013 sudah mewajibkan wahana RS pendidikan untuk memperlihatkan insentif untuk dokter residen. Tapi banyak diantaranya tidak memperlihatkan insentif tersebut, ada yang memperlihatkan tapi jumlahnya tidak seberapa, misal hanya Rp 100.000,- bulan.
Rendahnya penghargaan untuk mereka tentunya berdampak terhadap kualitas layanan yang diberikan. Orientasi mereka ketika bekerja bukanlah pasien, tapi bagaimana caranya supaya jaga saya aman, laporan selesai, cukup istirahatnya sehingga besok bisa kembali beraktivitas tanpa kendala.
Saran saya supaya insiden ini tidak terulang antara lain:
- Sebaiknya dokter triase yang bekerja di RS PPK3 ialah dokter residen senior yang tahu apa yang dilakukannya. Sebaiknya alasannya ialah kerjanya tersebut dokter tersebut dibayar.
- Untuk menghidari berjubelnya pasien dan dokternya kewalahan, sebaiknya tarif InaCBGs diperbaiki secepatnya. Hapus perbedaan tarif yang jomplang antar kelas RS sehingga lebih banyak pasien yang bisa ditangani di PPK2 dengan semestinya tanpa harus dirujuk atau terapinya menyesuaikan dengan keterbatasan tarif menyerupai apa yang selama ini terjadi.
- Untuk memperbaiki kualitas layanan tolong diperhatikan kesejahteraan dokter residen. Batasi jam kerja mereka sehingga mereka bisa bekerja lebih baik, berikan mereka upah yang layak sehingga mereka bisa tersenyum ketika melayani pasien. Hal itu hanya akan mungkin terealisasi jikalau sistem pendidikan dokter seorang mahir di Indonesia memalsukan sistem pendidikan hospital based seperti negara lainnya di dunia.
Itulah berdasarkan saya apa yang ada dibalik buruknya layanan di PPK3. Apakah anda harus perduli untuk merubah keadaan ini? Ya alasannya ialah setiap orang yang hidup pada alhasil niscaya akan bersinggungan dengan layanan kesehatan.
Mohon share-nya jikalau anda peduli untuk memperbaikinya. (Penulis Dr. Erta Priadi Wirawijaya Sp.JP)
Sumber https://medianers.blogspot.com/
0 Response to "Mengapa Pelayanan Rumah Sakit Kerjasama Bpjs Buruk? Ini Klarifikasi Dr. Erta Priadi Wirawijaya Sp.Jp"
Posting Komentar