![]() |
Ilustrasi bentuk kerjasama antara dokter dan perawat di kamar operasi/ photo: anton wijaya |
Perawat Tanpa Dokter Suram, Itu Apa Maksudnya?
Hentikanlah bergigih serta mengklaim bahwa tanpa Perawat, dokter tidak akan bisa bekerja. Sebab, bila di balik Perawat bisa apa kalau tidak ada dokter? Makara sebaiknya bagaimana meningkatkan kemitraan yang handal antara Perawat dan dokter dimana saja, maupun dalam situasi apapun jua.
Perawat ingin diakui, ingin dihargai oleh dokter serta ingin dijadikan sebagai kawan diskusi dan kolaborasi. Pertanyaanya, apakah Perawat sudah bisa untuk itu? Jika jawabnya belum, maka pantas saja Perawat belum mendapatkannya. Dalam dunia ilmiah, tidak mengenal usia, bagak dan lainnya. Tapi yang dihargai itu yaitu ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki seseorang. Mampu berargumentasi, bisa memberi penelaahan sesuai kaidah keilmuan. Bukan hanya bisa menjawab berdasarkan asumsi, duga dan kira. Jika hanya duga dan kira, coba siapa yang mau mendiskusikan wacana kesehatan pasien?
Benarkah Dokter Tanpa Perawat Kelam?
Terlepas apakah itu benar atau salah, bagi penulis tidak penting. Yang penting itu yaitu bagaimana memanfaatkan kerjasama antara Perawat dan Dokter yang saling menguntungkan. Menguntungkan bagi pasien dan masyarakat, dan pastinya menguntungkan pula bagi kedua profesi tersebut di pelayanan kesehatan.
Bila ingin menandakan bahwa tanpa Perawat, dokter akan menjadi kelam, gelap dan lain sebagainya maka tunjukan dengan profesionalisme. Misal tanpa Perawat, dokter tidak bisa melaksanakan tindakan apa-apa, contohnya tindakan operasi menjadi batal, proteksi terapi pada pasien jadi gagal, dan lain-lain. Jika itu terbukti, maka Perawat tidak perlu menuntut penghargaan ingin di ajak kerja sama atau kerjasama, tanpa disadari ternyata Perawat sudah penggalan dari kerjasama dan kerja sama yang di inginkan.
Dokter Dihargai Karena Menguasai Spesialisasinya
Inilah kelebihan profesi dokter, mereka dihargai sebab keahlian khusus yang ia miliki. Bilamana satu dokter tidak bisa melaksanakan tindakan pengobatan, maka ia akan merujuk kepada dokter lainnya yang lebih menguasai dengan detil, mirip dokter jago sub. Dokter jago sub itu yaitu lebih seorang jago lagi dari spesialis.
Bagaimana dengan Perawat?
Dewasa ini, Perawat masih sibuk dengan namanya rotasi dan 'penyegaran' pindah antar ruangan. Perawat yang mahir dengan Intensive Care Unit (ICU) bisa saja dipindahkan ke ruang rawatan penyakit anak atau penyakit dalam, sebab faktor politis, yang bertamengkan ' penyegaran'. Bila ini keseringan, kapan Perawat bisa jago atau mahir di satu bidang? Yang bisa di ajak dokter jago untuk berdiskusi?
style="text-align: justify;"> Kemudian, Perawat yang melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis, terkesan makin jauh saja dari pasien. Cendrung lari ke perguruan tinggi tinggi sebagai dosen. Ini perbedaan mencolok antara dokter dan Perawat. Dokter setinggi dan sedetil apapun pendidikan spesialisasinya, ia akan tetap melayani pasien di rumah sakit, kendatipun ia bertugas pula sebagai pengajar di perguruan tinggi tinggi. Namun, tetap menjalankan profesinya di rumah sakit.
Sumber https://medianers.blogspot.com/
Jadi, akan tidak seimbang bilamana seorang dokter jago berdiskusi dengan Perawat tamatan Akademi Keperawatan atau Ners. Kecuali Perawat tersebut telah berkarat di unit tertentu dan sering mengikuti pembinaan spesialisasi. Seperti Uda Jon misalnya, sobat penulis yang sudah pensiun, dulu dinas di poli mata, sangat dipercaya oleh dokter jago mata. Jika dokter jago mata tidak di tempat, maka Uda Jon lah penggantinya. Dimasa pensiunnya Uda jon masih berkarir di bidang perawatan poli mata dengan membuka praktek optical.
Demikian pula dengan Uda Hendra, banyak operator yang mengajak dan mempercayai dia sebagai 'tandem' dokter jago lakukan pembedahan, mirip operasi THT dan operasi Kebidanan. Karena apa? Karena ia telah puluhan tahun dinas di kamar operasi dan sangat menguasai teknik pembedahan, baik bedah umum, THT maupun Kebidanan.
Jika Perawat tiap sebentar di rotasi, dipindahkan dari ruang rawat satu ke ruang rawat lainnya, kapan Perawat tersebut menguasai satu keahlian? Sebagaimana yang dimiliki dokter ahli. Sementara Perawat yang mempunyai latar belakang pendidikan spesialisasi keperawatan masih enggan menjalankan praktek keperawatan di rumah sakit, yang semestinya mereka lah sebagai aktivis kemajuan praktek dan keahlian keperawatan di rumah sakit, semoga penghargaan itu datang, berkat ilmu pengetahuan dan skill Perawat bisa di pandang ilmiah dan terjadwal dengan baik.
Demikian pula dengan Uda Hendra, banyak operator yang mengajak dan mempercayai dia sebagai 'tandem' dokter jago lakukan pembedahan, mirip operasi THT dan operasi Kebidanan. Karena apa? Karena ia telah puluhan tahun dinas di kamar operasi dan sangat menguasai teknik pembedahan, baik bedah umum, THT maupun Kebidanan.
Jika Perawat tiap sebentar di rotasi, dipindahkan dari ruang rawat satu ke ruang rawat lainnya, kapan Perawat tersebut menguasai satu keahlian? Sebagaimana yang dimiliki dokter ahli. Sementara Perawat yang mempunyai latar belakang pendidikan spesialisasi keperawatan masih enggan menjalankan praktek keperawatan di rumah sakit, yang semestinya mereka lah sebagai aktivis kemajuan praktek dan keahlian keperawatan di rumah sakit, semoga penghargaan itu datang, berkat ilmu pengetahuan dan skill Perawat bisa di pandang ilmiah dan terjadwal dengan baik.
Di atas kertas memang ijazah penentu syarat profesionalisme, namun di lapangan skill dan pengalaman sebagai faktor penentu. Jika Perawat ingin profesional, tidak saja dilihat dari pendidikannya, tapi juga dinilai kemampuan praktisnya dalam menjalankan asuhan keperawatan maupun tindakan serta skill dalam menjalankannya. Teori penting, namun praktek jauh lebih penting.
Solusi dan Kesimpulan
Penghargaan jangan diminta pada profesi lain atau pun pada pasien dan masyarakat. Tapi, Perawat akan dihargai bilamana ia dan orang-orang yang ada di profesi Keperawatan sendiri mau berbenah dan menghargai profesinya.
Bukan bertindak sebaliknya, memindahkan berdasarkan subyektifitas, sebab politis dan lain hal yang tidak terkait dengan profesionalisme. Misal Perawat yang biasa dinas di ICU, ditempatkan di ruang rawat anak atau di poliklinik, lantas apa yang akan ia lakukan disana? Dan penggantinya di ICU juga akan kebingungan. Sementara masihkah bisa dokter mengajak orang gres yang belum mengerti apa-apa di ruang tersebut untuk berkolaborasi?
Selain menjalankan azas proporsional dalam penempatan tenaga Perawat. Hendaknya pendidikan dan pembinaan khusus untuk menunjang wawasan dan ilmu pengetahuan merupakan tanggung jawab langsung dan instansi daerah Perawat bekerja. Beri setiap Perawat peluang yang sama dalam melanjutkan pendidikan dan pembinaan khusus sesuai latar belakang peminatannya. Misal, support Perawat dinas di ruang penyakit dalam untuk mengikuti pembinaan EKG, atau pembinaan kekhususan wacana hormon dan organ, mirip endokrinologi, jantung dan ginjal. Jadi, masing-masing Perawat yang dinas di ruang Penyakit dalam mempunyai satu orang, satu keahlian. Perawat A, jago bidang endokrin, dan Perawat B jago bidang keseimbangan cairan tubuh, asam dan basa misalnya.
Terakhir, jangan harapkan perubahan di profesi Perawat, bilamana Perawat sendiri tidak mau berubah dan mau berbenah serta mau berguru untuk mengambil spesialisasi meskipun diselenggarakan secara informal. Nah, bila telah berubah mindset, insha allah penghargaan itu akan tiba sendirinya tanpa diminta-minta pada orang lain. Kalau berdasarkan anda? (AntonWijaya)
Solusi dan Kesimpulan
Penghargaan jangan diminta pada profesi lain atau pun pada pasien dan masyarakat. Tapi, Perawat akan dihargai bilamana ia dan orang-orang yang ada di profesi Keperawatan sendiri mau berbenah dan menghargai profesinya.
Terkait : Bentuk Kerjasama Perawat, Bidan dan Dokter di Rumah SakitJangan menempatkan Perawat di sembarang tempat. Bila ia mempunyai latar belakang mahir Intensive Care Unit (ICU), maka bila ia ingin 'disegarkan' atau dipindahkan oleh manajer Keperawatan di Rumah Sakit, sebaiknya beri ia pendidikan dan pembinaan Intensive Cardiovaskuler Care Unit (ICCU) dan ditempatkan di ruangan tersebut. Atau kalau biasanya ia dinas di ruang rawat anak maka sangat relevan ia dipindahkan ke ruang Perinatologi dan Perawat yang bermasalah di ruang Perinatologi, maka sangat pantas diberi pendidikan dan pembinaan untuk ditempatkan di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU).
Bukan bertindak sebaliknya, memindahkan berdasarkan subyektifitas, sebab politis dan lain hal yang tidak terkait dengan profesionalisme. Misal Perawat yang biasa dinas di ICU, ditempatkan di ruang rawat anak atau di poliklinik, lantas apa yang akan ia lakukan disana? Dan penggantinya di ICU juga akan kebingungan. Sementara masihkah bisa dokter mengajak orang gres yang belum mengerti apa-apa di ruang tersebut untuk berkolaborasi?
Selain menjalankan azas proporsional dalam penempatan tenaga Perawat. Hendaknya pendidikan dan pembinaan khusus untuk menunjang wawasan dan ilmu pengetahuan merupakan tanggung jawab langsung dan instansi daerah Perawat bekerja. Beri setiap Perawat peluang yang sama dalam melanjutkan pendidikan dan pembinaan khusus sesuai latar belakang peminatannya. Misal, support Perawat dinas di ruang penyakit dalam untuk mengikuti pembinaan EKG, atau pembinaan kekhususan wacana hormon dan organ, mirip endokrinologi, jantung dan ginjal. Jadi, masing-masing Perawat yang dinas di ruang Penyakit dalam mempunyai satu orang, satu keahlian. Perawat A, jago bidang endokrin, dan Perawat B jago bidang keseimbangan cairan tubuh, asam dan basa misalnya.
Terakhir, jangan harapkan perubahan di profesi Perawat, bilamana Perawat sendiri tidak mau berubah dan mau berbenah serta mau berguru untuk mengambil spesialisasi meskipun diselenggarakan secara informal. Nah, bila telah berubah mindset, insha allah penghargaan itu akan tiba sendirinya tanpa diminta-minta pada orang lain. Kalau berdasarkan anda? (AntonWijaya)
Sumber https://medianers.blogspot.com/
0 Response to "Perawat Tanpa Dokter Suram, Dokter Tanpa Perawat Kelam"
Posting Komentar